Rakana memandang pintu di depannya dengan wajah datar. Apa harus lagi dirinya bertemu dengan dokter itu? Sangat-sangat menyebalkan sekali. Rakana membalik badan, berdiri membelangin pintu. Kakinya selalu menolak, apalagi dengan keadaannya sekarang, pasti pucat pasi.
Rakana menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. Huft ... Rakana harus siap, tujuannya kemari bukan membicarakan penyakitnya, tetapi sakit Agus. Tepat setelah Rakana berbalik, seorang gadis juga hendak keluar, jadinya mereka hampir berciuman, jarak bibir mereka juga sudah agak tipis sekali.
Mungkin karena salah tingkah atau bagaimana, mereka malah terdiam. Saling memandang dengan jarak yang begitu dekat. Mereka memandang tanpa ada yang mengedipkan mata, sampai tersadar sendiri dengan apa yang telah mereka lakukan.
"Lo!" kompak mereka berdua saling megertak. Rakana yang sadat jarak mereka terlalu dekat langsung mundur beberapa langkah.
"Lo suster waktu itu kan," tunjuk Rakana pada gadis yang kini sedang berpakaian serba putih. Dengan cap atau topi yang sering digunakan oleh para perawat atau suster.
"Lo pria yang sok kuat itu kan?" Raina juga ikut menunjuk Rakana, sehingga mereka jadi langsung tunjuk. Tetapi sepertinya Rakana tidak suka ditunjuk, makannya ia langsung menepis tangan perawat muda yang ada di depannya.
"Lo ngapain di sini?" Oh katakanlah Rakana sok akrab sekarang, tanpa sadar ia menghilangkan sikap cuek dan dinginnya, dengan mau bertanya duluan pada seseorang.
"Kerja," singkat, padat, jelas. Sekarang giliran gadis itu yang memasang wajah angkuh. Dirinya berdiri di depan Rakana sambil bersidekap dada. Hal itu membuat Rakana langsung memijit pangkal hidungnya lalu menghela napas dalam.
Peduli apa Rakana untuk bertanya. Dia memang terlihat muda untuk bekerka di rumah sakit. Kalau diperhatikan sekitar umur dua puluh tahun. Rakana menggeleng keras, ia hendak membuka pintu yang sekarang ada di samping gadis itu. Namun, langsung ditepis.
"Lo mau apa?" tanya Raina menatap tajam. Tapi sepertinya Rakana tidak mengiharukannya, ia langsung masuk begitu saja.
Di dalam Rakana dapat melihat, dokter tua atau bisa dibilang sudah paruh baya itu sedang memegang hasil medis pasien lain. Wajahnya tampak teliti membacanya, sambil menulis di buku kecil yang ada di samping mejanya. Rakana tidak berkomentar, melainkan langsung duduk di hadapan dokter tersebut.
"Kamu itu kebiasaan, dateng pake salam atau ngetuk pintu aja nggak mau. Bisa-bisa mati muda entar, saya."
"Mati muda katamu, sadar diri, umurnya sudah setengah abad," ucap Rakana meremehkan. Tentu saja, Rakana tidak pernah punya kata-kata mutiara, yang ada adalah kata-kata belati. Semua orang juga hapal betul dengan sikap Rakana yang itu.
Termasuk Dokter Rendra sendiri. Ia merupakan dokter yang khusus menangani penyakit kanker otak, jadi sudah jadi langanan panti serta Rakana sendiri.
"Mau periksa?" tanya Rendra berdiri dari duduknya, ia sudah siap-siap untuk menyuruh Rakana berbaring, sebelum Rakana mengeluarkan kata 'tidak' dengan sangat jelas.
Rendra menghela napas, padahal ia sudah senang kalau Rakana mau periksa. Terakhir kali periksa kanker otaknya sudah cukup parah. Kalau terus begitu, bisa-bisa Rakana mati muda. Rakana pertama kali datang dan sampai ketahuan apa penyakitnya saat pingsan karena kelelahan menjaga anak panti yang kebetulan sekaligus lima orang masuk rumah sakit. Belum lagi malam ia harus balapan untuk cari biaya. Rakana yang notabene adalah siswa rajin hampir setiap malam begadang untuk membuat tugas. Tapi saat diperiksa oleh dirinya, ia menemukan fakta, kalau Rakana juga mengidap kanker otak, sama seperti ibunya dulu.
"Rak ... sekali saja dengarkan ucapan saya, periksakan, dan obati. Ada besar kemungkinan kamu sembuh kalo kamu mau berjuang dari awal," nasehat Rendra. Sudah hampir dua tahun kenal dan itu sudah cukup untuk mengenal seperti apa sosok Rakana. Bahkan, tanpa malu Dokter Rendra akan mengatakan, kalau dirinya sayang dengan Rakana. Sudah mengagapnya sebagai seorang anak.
"Mati itu urusan tuhan, saya tidak perduli," tak Acuh Rakana, serta dengan wajah datar yang sedikitpun tidak menunjukan rasa takut.
"Kau terkena kanker otak bagian batang otak, itu bisa menyebabkan kelumpuhan. Apa kau mau lumpuh di usia muda?" Rakana terdiam, sampai Rendra kembali melanjutkan kata-katanya. "Glioma, jenis kanker otang yang tidak bisa diajak main-main, pertumbuhannya cepat, dan bisa saja membuat orang yang terkena itu meninggal dalam waktu empat bulan."
"Saya kesini mau menanyakan keadaan Agus. Soal diri saya sendiri, saya tidak peduli dan tidak ada yang peduli."
"Rakana, kamu jangan berpikir seperti itu. Kamu inget, anak-anak panti butuh kamu," motivasi Rendra, tapi sepertinya tidak cukup. Rakana malah langsung berdiri dari duduknya, menatap Rendra tajam.
"Beritahukan saja tentang Agus, atau saya keluar dari ruangan ini dan tidak akan pernah kembali!"
Rendra terdiam, Rakana tidak pernah main-main dengan ucapannya. "Baiklah," pasrah Rendra.
"Jadi bagaimana?" tanya Rakan kembali duduk, ia memandang serius Dokter Rendra. Ia yakin, dokter itu sudah mengenal Rakana luar dalam. "Saya harap kau menjelaskan dengan singkat, tidak perlu rinci. Saya malas mendengarkannya."
"Jadi untuk kasus seperti Agus ini ada sepuluh persen kemungkinan selamat, dan sembilan puluh persen gagal. Mengingat agus sudah pernah melakulan operasi ini dulu. Lalu setelah operasi Agus akan melakukan beberapa kemotrapi yang dulu juga sudah pernah dilalui."
Rakana mangut-mangut. Hanya sepuluh persen, sekarang hidup Agus hanya bergantung pada sepuluh persen itu. Zaman sekarang hidup manusia memang kadang miris. Hanya bergantung pada pengobatan medis yang kadang belum tentu bisa memberinya umur panjang.
"Gunakan harapan itu Rakana, tidak mungkin tidak ada keajaiban didunia ini. Percayakan semuanya kepada sang pencipta. Kita mungkin jarang menghadap, tetapi doa yang tulus terkandang lebih di dengarkan."
"Makasi."
"Itu saja?"
Rakana langsung memandang malas. Mulai lagi dokter sialan ini. "Lalu kau mau apa?" tanya Rakana dengan nada sarkas, membuar dokter itu langsung cengegesan tidak jelas. Itu terlalu menyebalkan bagi Rakana.
"Oh iya, operasi akan dilakukan malam ini."
Rakana mengangguk. "Aku akan ada di rumah sakit dua puluh empat jam."
***
Angin malam, Rakana menyukai itu. Walaupun dingin, tetapi Rakana suka. Kini dirinya sedang ada si taman rumah sakit, dengan wajah pucat, penampilan acak-acakan serta tanpa menggunakan jaket.Rakana terlalu suka dengan dinginnya angin malam, terutama saat hembusannya menusuk kulit. Ditambah dengan belaian angin yang begitu lembut. Dari dulu tidak ada yang pernah melarangnya merasakan angin malam, maka dari itu ia tetap jatuh cinta pada angin malam yang banyak orang takuti.
"Lo kaya gini, sama kaya lagi ngundang sakit masuk ke badan lo." Seseorang melemparkan jaket tebal ke atas pangkuan Rakana.
"Lo lagi," sebal Rakana, memandang suster tadi, tetapi sudah ganti pakaian dengan rok minis serta jaket jeans membalut tubuhnya.
Gadis itu mengedikkan bahunya lalu langsung pergi. Tidak Peduli nanti jaket yang sudah diberikan akan dibuang atau bagaimana.
Sedangkan Rakana memandang gadis itu sampai matanya sedikit memicing, karena berlahan ditelan oleh jarak. Ia menghela napas, menurunkan pandangannya pada jaket yang gadis itu berikan.
....
Hay jumpa lagi dengan Rakana, maaf ni ya baru up, soalnya ada sedikit kegiatan yang harus diselesain. Nanti setelah jadwal author longgar, janji deh sering2 up.Oh iya, jangan lupa vote dan komen, share ke temen-temen kamu juga. Sampai jumpa dilain kesempatan😇
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...