Arsli dan Arya sama-sama diam, duduk dalam ruang tempat dan waktu yang sama. Namun, bungkam dan mengalah pada kesunyian. Tdak ada suara sendok, maupun garpu yang beradu dengan piring, padahal mereka sedang ada di meja makan.
"Mau apa kamu dateng ke rumah aku? Terus ini apa?" tunjuk Arya pada makanan yang tersaji di atas meja. Tadi gadis itu tiba-tiba datang, membawa rantang yang berisi makanan kesukaan Arya.
"Pacar perhatian, kok malah ditanya?" Arsli mengakat kedua alisnya, langsung bertemu dengan mata sang pacar.
"Lagian aneh aja. Sok perhatian sama dua orang dalam waktu satu hari," sindir Arya sinis. Kesetika itu juga senyum Arsli luntur digantikan dengan helaan napas panjang. Ia tampak menunduk dalam. "Kamu liat keberadaan aku kan? Makannya kamu buru-buru bawa makanan buat ngerayu aku?"
"Maaf, ya." Hanya kata itu yang terucap, dengan kepala yang terus-terusan menunduk. Bukannya merasa iba, Arya malah tersenyum makin sinis, ia beranjak dari duduknya, sebelum Freszo datang.
"Eh, itu calon mantu Ayah kok main ditinggal aja?" ucap Freszo, yang mengagap Arsli sudah seperti calon mantunya. Ia juga memberi restu penuh hubungan anaknya yang selalu terlihat harmonis.
Freszo yang merasa senang dengan kehadiran Arsli langsung duduk di depannya. Ia memandang makanan yang sudah Arsli buat dengan susah payah tersaji lengkap di atas meja. Dirinya melirik makannya dengan penuh selera, sebelum pada akhirnya beradu dengan tatapan Arya yang begitu dingin.
"Arya ke kamar dulu, ya, Yah," izin Arya yang langsung pergi dari area dapur. Menyisakan hening dengan dua insan yang menatap kepergian Arya sendu. sebelum pada akhirnya Freszo buka suara, "berantem?"
Arsli hanya mampu mengangguk, dengan wajah yang terlihat menunduk. Baru kali ini Arya semarah itu, biasanya hanya ngambek sebentar ia balik lagi seperti biasanya. Tetapi kali ini malah sampai meninggalkan Arsli seperti ini.
Dengan tatapan bersalah, mata Arsli sampai berkaca-kaca. Takut kalau air matanya tumpah di sana, Arsli memilih untuk berpamitan pulang saja.
Freszo juga tidak bisa ikut campur urusan remaja. Ia hanya geleng-geleng kepala. "Dasar anak muda sekarang. Nggak laki nggak cewek, doyannya ambekan."
***
Selimut kelabu duka itu masi menyelimuti, seolah tak terima semuanya sia-sia. Ada rasa bersalah yang besar pula menyelimuti hatinya. Banyak kata andai yang membuat Rakana benci dirinya sendiri.Rakana mendesah kecewa. Seolah engan membawa mobilnya entah ke mana. Tidak ada arah tujuan, pulangpun terasa makin menyesakkan. Mereka yang nyatanya memberi janji paslu terus membuat Rakana hanya makin banyak menelan pil pahitnya kekecewaan.
Di sisi yang lain, Arya ternyata ada di sana, pria itu mengetuk kaca mobil Rakana. Menbuat banyak lamunan Rakana hilang dan tergantikan dengan kesadaran yang sepenuhnya. Rakana yang menatap Arya dengan tanda tanya, membuat cowok itu menggaruk kepalanya tidak gatal.
"Masuk!" suruh Rakana yang menyadari parkiran sekolah sangat panas. Ia tau di situ juga tidak ada pohon besar yang memberikan sediki teduh, jadi sebelum ia melihat Arya sakit gara-gara Rakana lupa, lebih baik menyuruhnya sekarang, dan mengobrol di dalam mobil.
"Lagi sedih ya?" tanya Arya langsung pada poinnya. Karena ia tidak suka terlalu banyak basa-basi.
"Hem ...."
"Ke tempat biasa yuk," ajak Arya. Tentu kali ini Rakana langsung menoleh. "Lupain semuanya di sana."
Rakana diam, membuat Arya langsung mengeluarkan beberapa bujukan yang berisi paksaan. Membuat Rakana tak berdaya lagi untuk bisa menolak. Cowok itu pasrah dan ikut saja dengan Arya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...