Rakana Razela Putra terbangun dari tidurnya. Ia mengusap wajahnya dengan kasar. Mimpi masa lalu kembali menghatuinya, yang diakhiri dengan tamparan sang kakek. Ayahnya diam waktu itu, tetapi Rakana malah mendapat hadiah dari sang kakek.
Entah kenapa, itu juga menjadi awal hubungan mereka tidak akrab lagi. Rakana terlalu malas bertanya masalahnya atau mungkin Rakana memang sadar salahnya. Tetapi Rakana diam, menolak untuk merubah apa yang menurutnya tidak pantas dirubah.
Rakana menurunkan kedua kakinya, ia duduk di pinggir kasur, dengan kedua tangan bertumpu di bibir kasur. Kepalanya kembali pusing, demamnya juga agak tinggi.
Rakana tidak mengeluh, ia membuka lacinya berlahan. Ada banyak jenis obat di sana, tapi Rakana hanya mengambil satu. Sebuah obat yang berada di dalam tabung. Rakana awalnya yang hanya mengeluarkan satu, tetapi karena merasa tidak cukup, ia mengeluarkan dua butir. Lalu Menegaknya tanpa bantuin air.
"Huh," lenguh Rakana, kepalanya makin pusing, menunggu efeknya berkerja. Rakana tau itu cukup lama, jadi karena itu ia langsung memaksa berdiri, berjalan ke kamar mandi dengan agak sedikit terseok-seok.
Rakana harus mandi dan sekolah, ia tidak boleh lupa kewajibannya itu. Jujur saja, sekolah tidak ada gunanya bagi Rakana. Hidupnya tidak panjang untuk bisa menjadi sarjana ataupun bekerja dengan gelar tinggi. Menggantika ayahnya di perusahaan suatu saat nanti. Itu hanya angan.
Lima belas menit Rakana akhirya siap dengan seragam sekolah. Wajahnya sedikit lebih segar, dengan rambutnya yang masi acak-acakan. Ia segera memgambil sisir, menyisir rambutnya tak beraturan. Poni Rakana yang sudah melewati mata di bawa ke samping. Agar terlihat rapi tidak seperti brandal sekolah.
Ini masi jam setengah tuju, jam berangkat sekolah bagi siswa rajin. Rakana mungkin masuk ke dalamnya, makannya ia langsung turun untuk berangkat sekolah pagi-pagi.
Rakana yang selalu melewati meja makan berjalan begitu saja. Nafsu makannya tidak terlalu baik. Bahkan, ia sering mual kalau memaksa makan. Rakana yang berjalan santai tidak sadar diperhatikan dengan sinis oleh sang kakek.
"Kemarin pulang jam 2 pagi ngapain aja!" tegur Anto dengan wajah terlihat menahan emosi. Pandangannya begitu menusuk, dan hanya itu yang sering Rakana dapatkan selama ini dari sang kakek. "Kamu anak sialan, nggak pernah bisa bikin keluarga bangga!"
Rakana berdesis pelan. "Aku anak sialan kan? terus gimana sama cucu kesangan Kakek, Asyana?!"
Gadis cantik yang memiliki rambut sebahu, pipi agak lancib namun munggil, hanya sayang selalu terlihat pucat, tersentak kaget saat adiknya menyeret namanya. Tapi dengan cepat kakaknya Yafis menenangkan dirinya. Mengelus pundaknya pelan. "Kamu jangan terlalu dengerin kata-kata adek ya."
"Benar-benar anak kurang ajar." Anto langsung berdiri, tapi ditahan oleh anaknya.
"Yah ... jangan emosiaan gitu," pinta Yogi, memberi kode agar ayahnya tetap sabar.
"Gimana Ayah bisa sabar, kamu didik dulu anak kamu itu!" tunjuk Anto pada Rakana.
"Udah?" tanya Rakana yang masi berdiri kokoh ditempatnya, tatapannya datar dan dingin. "Rakana berangkat."
Semua orang mendadak berhenti adu mulut, menatap Rakana yang sudah melenggang pergi.
"Yafis berangkat juga," pamit Yafis buru-buru menyusul Rakana.
Rakana tampak sudah mengambil kunci mobilnya untuk berangkat, tapi langsung dihalangi. Tidak ada unsur dendam, Yafis malah tersenyum lebar, berharap dibalas sebaliknya juga, tapi ....
"Lo apa-apaan si?!" ketus Rakana.
Plak.
"Yang sopan sama Kakak sendiri," tegur Yafis yang ringan tangan. bahkan, satu tamparan halus sudah melayang pada pipi mulus Rakana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...