Rakana hanya mampu terdiam di kamarnya, memandang foto sang ibu terus dengan lekat. Entah kenapa Rakana punya firasat sebentar lagi akan bisa menemuinya.
"Ibu yang sabar ya, Rakana nulis surat dulu buat ayah," ucap Rakana pada foto ibunya. Ia menulis cukup panjang pada secarik kertas.
Rakana memandang lurus, berharap tidak ada yang melihatnya. Barulah Rakana mengambil hasil tes DNA dan memasukkan satu amplop dengan surat yang sudah ia tulis.
Semua kebenaran ada di sini, dan semua akan terungkap seiring waktu yang kian habis. Umur Rakana tidaklah panjang, akan tetapi harapannya setelah ini, hidupnya akan sedikit berguna.
Malam yang makin gelap, pekatnya warna menutupi warna lain. Keheningan terjadi, karena para pembuat bising sedang istrihat untuk mengumpulkan energi esok hari.
Dari semua mahluk, satu yang tidak melakukkan itu, yaitu Rakana. Ia tidak ingin terlelap, menikmatinya waktunya lebih lama sebelum melihat gelap tanpa suara. Hatinya takut tapi otaknya selalu berkata siap.
Ceklek.
Rakana menoleh, menatap pintu yang terbuka berlahan, menampakkan wajah ayahnya yang menyembul dari balik pintu. Rakana menatap datar, sebelum pada akhirnya berpaling dan menatap jendela lagi.
"Belum tidur?" tanya Yogi, menatap anaknya yang sedang duduk di bibir kasur sambil terus mengamati jendela yang terbuka.
"Ayah liatnya gimana?!" ketus Rakana.
Yogi menghela napas, ia berjalan melewati Rakana, menutup jendela lalu menutupinya dengan korden. "Kalau kena angin malam terus, nanti tumbang lho."
Rakana berlahan mengakat pandangannya, bukan karena kesal, tetapi perhatian yang arahnya berikan membuat Rakana ingat akan sosok sang ibu.
Yogipun yang melihat mata anak berkaca-kaca duduk di sebelahnya. Ia menghela napas dan menatap sendu benda mati yang ada di depannya.
"Kamu rindu, ya?"
Tanpa sadar Rakana mengangguk, berkata jujur untuk pertama kalinya. Hatinya terlalu lelah menyembunyikan segalanya mungkin.
"Ini sudah terlalu lama, apa kamu masi belum bisa menerimanya?" Yogi menoleh, menatap Rakana penuh harap, maaf akan meluncur dari mulutnya. "Dulu Ayah memilih un__"
"Rakana capek denger penjelasan, Yah. Semakin dijelasin makin dendam, dan sampai kapapun sumpah untuk tidak percaya akan melekat dengan sendirinya."
Tidak bisa berkata-kata lagi, Yogi hanya menelan ludah dengan perasaan mencelos. Setitik harapanpun tidak ada Rakana tunjukan, hanya kata pahit yang selalu pekat dihati si pendengar.
Bukannya tidak mau berjuang lebih keras, Yogi terlanjur takut mengukit dalam karena Rakana bisa saja makin benci dengannya. Yogi memilih pergi, walaupun sebelumnya tidak cepat berpamitan.
Tepat saat knop pintu mau Yogi buka, Rakana malah berkata yang membuat Yogi merasa segalanya benar-benar tidak ada harapan. Yogi tetap tidak berkomentar, walaupun hatinya begitu sakit.
"Rakana udah mau ngirim surat hasil tes DNA sama segala fakta yang selama ini kita saling simpan sama ayah kandung Rakana."
Secepat itukah kenyataan baru harus didapatkan? Yogi belum siap dan tidak akan pernah siap. Ia tidak menyangka Rakana tau sejauh ini dan akan jadi ujung dari segala permasalahan yang selama ini melebar.
"Ayah akan egois nak, Ayah nggak akan pernah biarin kamu pergi dari ayah, sejengkal tanahpun!" geram Yogi mengepalkan kedua tangannya. Ia sudah bersumpah, kalau sampai ada yang berani mejauhkan Rakana darinya, maka ia akan membawa Rakana pergi jauh.
***
Arya dan Arsli hanya bisa menahan gelisah, sejak pertama Rakana mengukapkan seuatu hal penuh kecurigaan muncul dalam benak masing-masing."Apakah Rakana sebenarnya tau penghianatan kita?" tanya Arsli.
"Mungkin."
"Lalu?"
Arya menghela napas, memandang Arsli dingin. Bukan dia marah, tetapi tidak punya jawaban ataupun solusi. Sejak Rakana berkata jujur, hatinya jadi sedikit gelisah, binggung antara membeci dan berdamai.
"Semuanya kenapa jadi begini? Aku memang mencitai Rakana, tapi dia membuatku binggung sekarang ini." Asrli menutup wajahnya dengan kedua tangan. "Kamu bohongin aku, dan Rakana juga juga udah minta putus!"
Mendengar Arsli yang begitu terpukul, Arya langsung beranjak dan menarik tangan Arsli ke luar ruang osis. Dalam kekalutan, hanya Rakana yang dapat menjawab semuanya.
***
Berkeliling mencari Rakana, akhirnya mereka menemukannya sedang berkumpul bersama teman-teman lain. Ia hanya diam di tengah semua yang sedang mengobrol ria, sambil menyesap sebatang rokok yang ada dijarinya."Tumben kalian berani buat ulah terang-terangan gini?!" tanya Arsli sambil berkacak pinggang.
"Ibu ketua osis juga tumben ke sini? Mau gabung?"
Arsli mengiharukannya, ia memutar bola matanya malas, lalu memandang Arya tajam.
"Kalian pergi dulu, gue pengen bicara sama Rakana!"
Di pemilik nama menoleh, akhirnya menatap dua kekasih yang sudah Rakana satukan kembali. Tidak ada senyum, wajah murung ataupun tatapan amarah, hanya datar tanpa ekspresi.
"Kalian pergi aja!" usir Rakana.
Orang-orang yang dulunya selalu bersama dan satu geng itupun bubar. Mereka tau, sedang ada masalah antara Arya, Arsli, dan juga Rakana. Itu mereka sandari sudah semenjak dari lama.
Sudah menyisakan tiga orang, dan diam-diam mereka saling bertengkar dengan pikiran serta hati masing-masing. Tanpa mendahului siapa yang mau bicara duluan.
Maaf telat up ya, tapi semoga kalian nggak bosen buat nungguin. Jangan lupa juga buat vote, komen, sama rekomendasiin cerita ini ke temen-temen kalian🤗
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...