Part 27 || Kabar Baik Soal Panti

1.2K 98 1
                                    

Tak ada hal yang membuat Rakana bahagia, selain anak panti yang sehat dan bisa bermain. Tertawa lepas, melupakan rasa sakit karena pengobatan yang mereka jalani.

Helaan napas lembut terdengar, Rakana sedang duduk di taman bersama bu Santi, kepala panti yang masi setia selalu membantu Rakana mengurus panti tersebut.

"Sudah lama ya, dari meninggalnya Agus, Ibu belum pernah liat senyum kecil kamu lagi."

Rakana menoleh, menatap Bu Santi dengan senyum nyaris semuanya adalah luka. "Dulu Rakana menyesal, terlambat sedikit harapan langsung sirna."

"Lagi pula, kamu kan sudah berusaha juga. Siapapun tau, memang sulit ada kemungkinan Agus akan sembuh lagi."

"Iya Bu, tapi setidaknya sekarang, ada banyak yang mulai melirik panti. Uang sumbangan juga selalu cukup kan?"

"Tentu Nak. Makannya setelah kamu datang ke sini, Ibu ingin menyuruh kamu berhenti dari balapan liar. Nyawa kamu juga sangat berharga."

"Mungkin bagi panti ini aja, sisanya nggak. Rakana hidup dalam dunia yang orang lain nggak pernah tau, jadi Rakana juga hidup dengan rahasia yang sudah lama mendarah daging dan itu sayangnya bercampur dendam."

Ibu panti hanya melirik binggung, sampai dirinya melihat Rakana mendongak dan mengatupnya bibirnya. Ada senyum ketabahan yang tercetak, tetapi itu sangat miris.

"Jadi besok kalau Rakana nyerah, jangan sedih, soalnya ini panti sudah banyak yang tau."

"Oh iya, Bu Sinta bisa janji kan sama Rakana?"

Kesetika Bu Sinta tersentak. Entah kenapa bicara anak muda di depannya seperti memberi isyarat, cerita tapi dengan cara yang berbeda. Karena sejujurnya Rakana jarang bicara, kalaupun bicara, kata-katanya pasti akan sangat pedas sekali.

"Janji ya, jaga panti. Terus urus panti ini."

"Memangnya kamu mau ke mana, Nak?"

"Pergi, mungkin dan akan selamanya."

***
Hembusan angin sore yang begitu menusuk kulit, membuat Rakana makin enggan beranjak. Rasanya dingin, dan Rakana suka. Lebih baik mengabaikkan sakitnya dengan cara begini.

"Ibu," lirih Rakana, entah memanggil siapa, karena tidak ada orang di taman panti.

"Rakana berhasil, Bu." Laporan itu keluar begitu saja. "Jadi udah selesai kan? Rakana boleh ikut Ibu?"

Teringat akan kenangan dulu, di mana saat pertama sang ibu mengajak Rakana ke panti. Ada banyak anak yang menderita penyakit mematikan. Namun, senantiasa ibunya bekerja untuk membantu sesanggupnya, walaupun Rakana tau, ibunya membantu lebih dari ibunya mampu.

Rakana senang, mengetahui ibunya bukan hanya baik kepada keluarga, tapi juga kepada orang yang butuh uluran tangan.

Waktu itu, Rakana kecil bertanya, "Ibu, apakah dengan membantu ibu bisa senang?"

"Loh kenapa pertanyaan kamu kaya gitu?"

"Habisnya ibu bantu semua orang, terus bilang 'setelah membantu ibu merasa senang'."

Ibu Rakana yang lembut orangnya dan cantik sikapnya itu mengajak Rakana kecil duduk di atas rerumputan hijau.

"Lihat, kalau kamu melihat rerumputan hijau, apa kamu senang?" Rakana mengangguk menyetujui. Ia senang melihat rerumputan hijau, karena membuat mata termanjakan oleh warnanya.

"Untuk bisa membuat rumput hijau, kamu harus menolongnya menyirami serta memberi pupuk."

Dulu Rakana hanya mengangguk saja, tanpa mengerti arti yang sesungguhnya. Namun, sekarang Rakana paham, mangsud dari rumput hijau dan kenapa ibunya menolong sangat ketara sekali.

Kalau rumput ditolong akan menghasilkan daun hijau memanjakan mata, tetapi kalau orang ditolong akan menghasilnya kebahagiaan yang dapat menular kepada kita. Kata tolong memberi manfaat, walaupun kita harus mengorbankan sesuatu untuk memenuni bantuan atas kata tolong maupun menolong tersebut.

"Suka banget ya, nyari penyakit!"

Rakana mendongak, menatap orang yang suaranya seperti tak asing lagi di telinga. Tetapi siapa?

"Dulu di rumah sakit sekarang di panti," omelnya seperti emak-emak yang takut anaknya sakit, tetapi dengan cara yang agak tidak langsung mengutarakan tujuannya.

"Kamu siapa ya?"

Gadis di depannya langsung mengernyit dalam. Rasa-rasanya tidak ada satu tahun mereka tidak bertemu, sampai cowok di depannya ini seperti baru saja melihat orang baru.

"Eh aku anak dokter Rendra." Gadis cantik yang berbalut dress selurut serta jaket tebal tersebut tetap menunjukkan senyum ramahnya.

"Dokter Rendra punya anak?" polos Rakana, yang entah sejak kapan pria dengan julukan pemilik kata pedas jadi polos dadakan, sedangkan Raina hanya membeo dengan wajah tak terkontrol.

"Lupain aja. Gue Suster Raina, yang ngasi jaket waktu kamu di taman rumah sakit."

Rakana ingat, dia adalah suster yang membuat Rakana sering jengkel, tapi merasa senang akan kebaikkannya. Rakana tentu masi ingat itu, walaupun masi ada gejala kesulitan mengingat sesuatu dengan cepat.

"Ouh ... jadi Dokter Rendra punya anak seorang perawat ya."

Raina hanya mengangguk dan duduk di samping Rakana tanpa seizin lelaki tersebut. Ia mengikuti kesukaan Rakana yang duduk di tempat dingin agar mudah sakit menyerang.

"Kamu tau tempat ini dari mana? Dan buat apa?"

"Aku nanya sama ayah, terus dia bilang kalo kamu pemilik panti yang udah rawat anak-anak pengidap kanker. Cuma aku udah beberapa kali ke sini, kamu nggak ada."

"Kepo banget kayaknya. Emang kalo ketemu mau apa?"

"Mau bilang, kamu hebat. Keliatannya aja kamu remaja nakal, tapi ternyata nggak."

"Tapi tebakkan kamu emang bener kok. Aku remaja nakal." Rakana beranjak, ia berdiri secara tiba-tiba, tapi sayang, kakinya malah seperti jelly, langsung jatuh saat diajak mengijak tanah.

Sejujurnya Rakana sudah merasakan sakit kepala ringat sejak tiga jam lalu, tetapi ia tidak sadar kakinya juga mulai kehilangan fungsi geraknya.

"Kamu kenapa?" kwatir Raina, dirinya berjongkok dan membatu Rakana meluruskan kakinya.

Banyak pertanyaan Raina lontarkan, akan teta Rakana enggan menjawab jujur. Makannya ia hanya membalas dengan deheman serta gelengan.

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang