Lelah sudah Rakana, baru saja pulang dari panti, PR malah sudah menanti. Awalnya Rakana malas, akan tetapi saat mengingat statusnya yang sebagai murid rajin nan teladan di sekolah, Rakana harus mengerjakan semuanya.
Tok ... tok ....
"Masuk!" Perintah Rakana tanpa monoleh ke arah pintu. Entah siapa yang masuk Rakana tidak peduli.
"Saya mau bicara."
"Langsung saja!" Rakana menoleh, menatap kakeknya datar. Tidak pernah ada kehangatan yang terjadi dalam hubungan mereka berdua.
Bukan layaknya kakek dan cucu yang tinggal dalam satu rumah, akan tetapi layaknya seorang musuh yang pura-pura berdamai untuk menyerang musuh diam-diam dari belakang.
Kakek Rakana terlihat cukup aneh, dia terdiam sebentar sebelum wajah tegasnya menatap Rakana keras.
"Apa kamu tau, kalau Arsli masuk rumah sakit lagi?"
"Saya tidak peduli!" Rakana memasang wajah tak kalah keras.
"Seperti itu, ya," sinis sang kakek. Selama ini ia tau, Rakana tak benar-benar membeci, hanya pura-pura dan tak acuh akan segalanya.
Hening bukan karena tidal ada topik, akan tetapi berdebat dengan diri sendiri. Pikiran mereka terlalu buruk tetapi hatinya malah mempekeruh suasana.
"Apa kamu tidak ingin menolongnya? Lagi pula, umurmu tak akan lama lagi bukan?" Spontan dan begitu enteng. Tentu Rakana hanya dapat merengkuh luka setelahnya. Begitu tak berharganya ia di mata keluarga.
Bukannya menunjukkan sikap marah, Rakana malah tertawa. "Lalu apa untungnya saya?"
"Banyak, setidaknya kamu dianggap ada karena pergorbanan."
Rakana mengangguk-ngagukkan kepalanya, tawanya pudar, tergatikan akan senyum penuh luka. Inikah yang namanya saat sudah terlahir jadi sebongkah batu, selamanya tak akan berharga.
"Aku juga peringatkan padamu, ini kisah nyata bukan sekedar coretan novel yang pemerannya selalu menjadi seorang tuhan."
"Dasar anak tidak tau untung!" Kakek Rakana ke luar ruangan dengan membanting pintu cukup keras. Ia lelah dan perasaannya makin lama malah jadi tidak karuan.
***
Suasana pagi kembali ramai, karena ayah Rakana sudah pulang pagi tadi. Mendengar anaknya Arsli masuk rumah sakit, ia mempercepat pekerjaannya dan kembali ke Jakarta."Selamat pagi," sapa Arsli yang didorong di atas kursi roda oleh neneknya.
"Pagi Arsli, Rakana!" sambut ayahnya yang mengajak mereka berdua duduk untuk mulai sarapan.
Tetapi bukannya duduk Rakana malahan berlalu pergi. Meninggalkan Yogi tanpa bisa bersuara. Dia kira anaknya akan berubah hangat setelah lama tak pulang. Namun, sikap dingin dan sinisnya masi sama.
"Liat itu, anak kamu makin nggak bisa dididik," nyinyir sang nenek, akan tetapi hanya dibalas helaan napas kasar oleh Yogi.
"Bukannya tak bisa dididik lagi, dia sudah jadi brandal tak tau untung!"
Kali ini Yogi tidak mau membalas apapun. Biarkan kedua orang tuanya itu berbicara sesuka hati. Karena hanya dirinya yang tau tentang anaknya.
***
Keadaan Rakana akhir-akhir ini lebih memprihatinkan. Badannya makin kurusan, wajahnya kusam. Bahkan, ada lingkaran hitam di matanya. Arya menyadari itu, lantas masuk ke dalam kelas dan mendekati Rakana."Lo lagi banyak masalah, ya?"
"Arya, ini jam pelajaran. Kenapa lo masuk kelas gue?"
"Udahlah, hirauin aja." Arya duduk di samping Rakana, perasaannya benci terganti akan kwatir. Tidak dapat dipungkiri, Rakana membuat hatinya selalu bimbang memilih antara menbeci atau menjaga.
"Lo belum jawab pertanyaan gue," tagih Arya, akan tetapi hanya dibalas dengan gelengan serta senyum tipis.
"Hubungan lo sama Arsli baik-baik aja kan?"
Rakana sempat terdiam, ia menelan ludah dengan tatapan sendu. "Dia jarang komunikasi lagi sama gue sekarang."
"Seharusnya gue bahagia, tapi kenapa malah ikutan prihatin si?" Dalam hati Arya mengeram kesal.
Ada kata tidak sepantasnya yang harusnya terucap, tetapi hatinya berkata ini sudah wajar.
Wajah Arya mendadak murung, sedangkan Rakana masi dalan ekspresi yang sama.
"Kalian lagi apa?!" pertanyaan tak segan, serta tatapan aneh Arsli layangkan. Tepat saat Rakana dan Arya diam tanpa berucap lagi karena obrolan yang sama-sama enggan untuk membahasnya.
"Kalian mau berduaan ya, mojok aja sekalian! Kebetulan gue ganggu, jadi mau permisi pergi."
"Lo diem di sini, Ar!" titahkan Arsli mutlak, membuat si Arya tak berani berkutik.
Entah kenapa perasaan Rakana mengatakan akan ada rasa sakit baru. Mereka akan menciptakan ledakan yang mampu membuat dinding pertahanan Rakana hancur.
"Gue mau bilang makasi sama Arya, karna berkat dia kebusukan lo kebongkar semua, Rakana." Tanpa memandang ekspresi Rakana yang tampak kebingungan, Arsli kembali bersuara, "lo hianatin gue, di belakang gue lo punya orang spesial!"
Tak meminta penjelasan lagi, terlebih saat memandang mata Arya, Rakana langsung paham. Arya membuat Arsli kembali berada dipihaknya, dengan menuduh Rakana telah selingkuh.
"Mana cincin yang aku kasi?" tagih Rakana tenang, yang tentunya langsung mengudandang tatapan tidak percaya Asrli.
"Lo mau nagih cincin itu lagi?!"
"Mana?"
"Ini, puas lo?!" ucap Arsli melempar cincin itu pada Rakana. Yang langsung saja ditangkap oleh pria itu.
Sempat terdiam memandang cincin itu, Rakana akhirnya memberikan kepada Arya. Tanpa bersuara Rakana melangkah pergi, tetapi berhenti di ambang pintu kelas.
"Itu cincin emang buat kalian."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...