Terlihat, dua orang lelaki berbeda usia sedang berbicara serius di ruang keluarga. Itu adalah Yogi dan Anton, dua orang yang sama-sama menduduki posisi tertinggi dalam keluarga.
Ruang keluarga yang sedang sepi, karena ini sudah waktunya bagi anggota mejalankna aktivitasnya masing-masing, apalagi di hari minggu yang begitu cerah seperti ini.
Yogi yang sedang berusaha membujuk ayahnya untuk bersikap lebih sayang kepada Rakana, anak bungsunya malah mendapat ketegangan karena perdebatan mereka. Alhasil ujung-ujungnya mereka saling diam dengan kepala panas.
"Sudahlah, kalau Ayah tidak setuju, aku akan membawa anak-anak pergi," ancam Yogi yang sudah tidak bisa duduk tenang.
"Jangan keterlaluan kamu Yogi! Masak gara-gara satu anakmu itu, kamu mau menentang ayah." Anton pun langsung menentang sikap Yogi yang menurutnya keterlaluan.
"Ayah bilang masak gara-gara satu anak? Dia anakku Yah, orang yang harusnya aku jaga lebih dari emas permata, dan sekarang aku harus diem terus pas liat Rakana nggak dapat keadilan di rumah ini?"
"Tapi dia bukan anak kandungmu, Yogi!" bukan ayahnya yang menyahut, akan tetapi ibunya. Orang yang harusnya punya hati nurani sebesar gunung, memiliki ketulusan seputih kapas, rela mengatakan itu kepada cucunya sendiri.
Makin gila Yogi rasanya, mereka--orang tuanya sendiri malah berkerja sama untuk menyakiti cucunya. Biarpun dulu ibu Rakana punya salah, tak sepantasnya dilampiaskan kepada Rakana juga.
Yogi muak, ia lelah dengan perlakuan kedua orang tuanya kepada Rakana. Rasanya ingin langsung angkat kaki dari rumah dan meninggalkan mereka semua.
"Yogi, mau ke mana kamu?" tahan Anto, yang melihat Yogi memasang ancang-ancang untuk pergi.
"Mencari kedamaian yang harusnya sudah aku kasi ke Rakana sejak dulu," balas Yogi singkat, sebelum dirinya tau kalau Rakana ada di sana. Berdiri mematung dan diam-diam mendengarkan semua.
Senyumnya begitu sinis, seolah terluka di lubuk hatinya yang paling dalam. Makin Rakana mendekat menunjukkan senyum itu, makin hati Yogi teriris dan menggeleng kecil.
"Kedamaian apa yang Ayah mangsud?"
"Ra ...."
"Kalau semua kesalahan sudah terlancur fatal di masa lalu!" bentak Rakana untuk pertama kalinya ingin mengeluarkan segala lukanya. "Dan mengapa baru sekarang, Yah?" lirih Rakana mendadak melunak. Rakana menangis? Mungkin itu sisi rapuhnya yang kini terlihat.
Yogi sudah bertekat, ia akan memperbaiki semuanya. Walaupun terlambat ia akan berusaha. Kakinya mendekat, ingin mengapai anaknya yang nyatanya terus melangkah mundur.
"Udah banyak luka, Rakana capek."
"Ayah minta maaf, Nak. Ayah baru sadar sekarang, tolong maafin Ayah, Ayah janji bakal perbaiki semuanya." Yogi menangis, memohon kepada Rakana sembari mendekat, akan tetapi tetap saja Rakana menghidar semampunya yang ia bisa.
"Ada yang bilang, gelas yang sudah pecah tidak bisa lagi kembali utuh, mereka juga berkata, guci yang retak tinggal menunggu untuk rusak. Ayah tau?" Rakana menjeda kalimatnya, menatap mata Yogi begitu dalam. "Begitulah gambaran diri Rakana saat ini!"
Hancurnya seorang ayah adalah karena anaknya, kini Yogi bisa merasakan hancurnya yang entah sudah keberapa kali. Jatuhnya juga karena keluarga, tetapi tuhan tidak pernah henti memberi segala cobaan kepada keluarga kecil Yogi. Sesulit itukah untuk bisa menghirup napas bahagia?
Melihat ayahnya berhenti bergerak, seolah lumpuh kesetika karena ucapannya, Rakana mendekat pada sang kakek. Orang yang selama ini hormati, walaupun dengan keras mereka coba menindas serta menghacurkan Rakana.
"Buat Kakek, Rakana cuma mau nanya, sekotor apa ibu di Mata Kakek?"
Puas membuat wajah Anton kebingungan, pandangan Rakana berpindah pada sang nenek.
"Terus pertanyaan buat nenek, apa hati seorang ibupun tidak bisa melawan kebecian Nenek sama Rakana? Apa hati seorang ibu nenek tenggelam karena ego sebuah rasa benci?"
"Kalian udah hancurin hidup Rakana dari dulu, di mana saat kalian nyuruh dokter bilang kalau ibu kena kanker otak, yang udah menyebar dan tidak ada harapan. Padahal kalian cuma kasi racun ke ibu, terus kalian juga sogok dokter untuk memberi dua pilihan sama ayah. Apa kalian pikir Rakana nggak tau!"
Terbongkar sudah apa yang Rakana selama ini tau tetapi tetap disimpan karena rasa hormat, yang nyatanya lama-lama jadi racun untuk dirinya sendiri.
"Rakana, apa yang kamu bilang?"
"Sebuah fakta," jawab Rakana penuh penekanan, Yogi yang masi belum benar-benar percaya akhirnya merasa terpukul saat melihat wajah ketakutan Anton dan Aira.
Seratus kali pukulan pun tidak akan semenyakitkan ini. Yogi frustasi, menyesal tidak mendengar ucapan Rakana kecil terdahulu baru mengambil keputusan. Inilah yang menjadi sebabnya Rakana begitu benci kepada dirinya.
"Menyesal?" tanya Rakana pada ayahnya sendiri dengan wajah mengejek. "Udah terlambat kok, sekalinya retak, besoknya tambah hancur. Barang aja begitu, apalagi hati Rakana yang berulang kali retak nggak pernah disembuhin."
"Rakana, masi ada kesempatan, jadi ayah mohon kita ulang dari awal, ya.
"Nggak bisa, Yah. Udah nggak ada awal lagi, cuma penyelesaian, itupun yang Ayah selalu halangi."
"Mangsud kamu apa, Nak?'
"Surat untuk ayah kandung Rakana jangan disembunyiin. Biarin surat itu sampai ke tangan seharusnya. Jangan pernah mengulang kesalahan, yang cuma terus mengulik benci tanpa tanpa habis termakan waktu."
Deg.
Rakana selalu tau segalanya, itulah yang membuat hidupnya hancur selama ini. Beban yang dipikulnya terlalu banyak, dan Rakana hanya manusia terbiasa yang mudah sekali lelah.
Rakana yakin, ini yang terakhir, makannya dengan berani ia mengukap segalanya agar tenang, walaupun tidak benar-benar segalanya, karena masi ada setengah fakta yang mungkin saja akan Rakana simpan sampai mati.
Dengan rasa menyesal serta sudah menyerah untuk mempersulit Rakana dalam menyampaikan dia adalah anak kandungnya kepada sang ayah, Yogi menyerahkan surat yang sudah disembunyikan kepada Rakana kembali.
"Maafin Ayah, ya."
Rakana mengakat pandangannya, tersenyum sinis sampai pada akhirnya luka yang ia tunjukkan. "Maaf itu akan selalu tersimpan, mudah diucapkan tetapi sulit nenghapus kenangannya. Jadi Rakana akan usaha." Untuk pertama kalinya, Yogi melihat itu lagi, senyum tulus tanpa tercampur noda luka apapun. Senyum yang sudah sangat lama Yogi rindukan.
Hanya beberapa saat, karena Rakana langsung melengos pergi tanpa meperdulikan dua orang yang sudah renta. Namun, baru menyadari dosanya selama puluha tahun. Tanpa diduga cucunya yang mereka benci dapat membuat mereka berdua menunduk dalam dengan rasa bersalah.
Hallo apa kabar ni? Udah lama banget dong ini aku nggak nyapa kalian di sini, hehe maklum sibuk☺
Gimana komentar kalian untuk part ini?
Kalo author si puas pake banget, entah kenapa langsung lega gitu, padahal beban si Rakana yang berkurang, maklum ikut emosi si sama orang2 disekitar Rakana yang hampir semua antagonis😑
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...