Part 4 || Rakana Yang Rapuh

1.5K 129 40
                                    

Rakana sedang malas berdebat, jadi sejak tadi Yafis menariknya ke ruang keluarga untuk menonton bersama, Rakana hanya bisa pasrah. Tidak suka sebenarnya kalau Rakana sudah diajak menonton televisi, yang kadang tayangannya tidak bermutu sama sekali, jadi di saat kakaknya fokus menonton, Rakana lebih memilih untuk berselancar di dunia maya.

Sudah beberapa kali sebenarnya iklan lewat, tetapi kakaknya yang tidak ingin ketinggalan yang ia tonton sampai rela menunggu dengan setia, sedangkan Asya sudah beberapa kali menuntut. Meminta Yafis ganti chanel lain dulu, tetapi tidak dihiraukan hingga terdengar sebuah perdebatan kecil yang membuat mulut Rakana samakin gatal untuk mencetuskan kata-kata pedasnya.

"Rak ...." panggil Yafis. Dengan malas Rakana menoleh, mendapati kakaknya yang menyodorkan sebuah cemilan, tapi Rakana hanya menggeleng. "Nonton tivi sambil nyembil enak tau, Ra ...." rayu Yafis lagi, agar Rakana mau ikut ngemil juga.

"Gue lagi nggak nontom tivi." Datar dan dingin, membuat Yafis langsung menggaguk kaku.

"Okey."

Hening, sampai Yafis sadar kalau adiknya sedang melirik. "Aku nggak ditawarin?" tanya Asya cemberut, "jahat ya sama adek sendiri," rengek Asya.

"Hehe ... lupa kalo kak Asya punya adek lagi satu." Yafis menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, membuat Asya langsung mendegus kesal. Ia bersidekap dada dengan bibir sedikit dimayunkan.

Rakana yang melihat interaksi mereka berdua langsung menatap ke televisi. Ia tidak mau hidupnya yang selama ini membeci keluarga terjebak dalam lingkaran sendu, takut akan kehilangan salah satunya. Tetapi rasa tidak pedulinya musnah saat sang kakak pergi ke dapur untuk mengambilkan Asya cemilan.

"Cemilan kalian beda?" tanya Rakana yang tidak bisa menahan diri untuk diam, yang tentu mengundang rasa bahagia bagi Asya.

"Hem ... i-iya," balas Asya tanpa bisa menahan rasa bahagianya. Ditanya lagi oleh Rakana adalah mimpi sekian tahun yang Asya tunggu-tunggu, dan hari ini menjadi sebuah mimpi yang dinanti namun berlahan didapat.

Setelahnya Rakana tidak bertanya lagi, dirinya langsung diam dan bertanya-tanya dalam hati. Tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kakaknya? Apakah penyakit kakaknya kembali kambuh? Atau kakaknya itu hanya sedang jaga pola makan? Pikir Rakana yang sudah barang tentu tidak akan mendapat jawaban, kecuali Rakana mau menurunkan egonya dan bertanya langsung.

"Dek ...," panggil Asya yang membuat Rakana tersentak kaget. Ekspresinya jadi menunjukan rasa tidak suka, wajahnya yang dingin ditambah dengan tatapan menusuk.

"Jangan panggil gue pake nama itu. Gue udah nggak ngagap kalian keluarga, apalagi Kakak. Inget itu!"

Deg.

Ada sesuatu yang begitu menusuk. membuat peluru langsung menghujami hatinya. Tetapi beruntung, sepercik rasa senangnya mampu menutupi segala. Jadi tidak masalah, karena tamengnya lebih kuat.

"Kenapa jadi pada aneh gitu si mukaknya?" tanya Yafis yang datang dengan senampan snack dan minuman khusus untuk adiknya, Asya. "Lo makan snack gue aja ya, atau mau gue a_"

"Nggak usah, gue mau ke kamar," potong Rakana cepat, dengan nada yang terdengar begitu sarkas.

"Kamu itu Rakana, sekali saja jangan jadi anak yang kurang ajar, sudah besar tapi tidak bisa jaga sopan santun. Anak yang tidak berguna!" Tegur kakek Rakana sambil berkacak pinggang. Tatapan tajam dan begitu menusuk, tapi Rakana yang kaget langsung balik menatap kakeknya.
"Sekali saja, dengarkan perhatian mereka. Berguna sedikit bisa kan?!"

Rakana tersenyum sinis. "Kalian nyuruh Rakana berguna, tapi guna kalian sebagai keluarga sudah ada belum?" Rakana membalik pertanyaan kakeknya, tatapannya kali ini begitu meremehkan.

"Hay, jaga ucapan kamu ya!" tangan Anto terangkat, tapi langsung ditahan oleh Yafis. Rakana yang masi di tempat tidak menghiraukan, dan malah berani menyahut lagi.

"Kasih sayang kalian juga udah lenyap kok, terus guna apa lagi yang perlu dibalas?" Rakana berujar santai, yang membuat emosi Yafis yang sekarang mendadak memuncak. Yafis balik menatap Rakana tajam, tidak percaya dengan kata-kata adiknya.

"Terus perhatian yang usaha kita lakuin kamu anggap apa, Rakana?!" bentak Yafis. Pertanyaan penuh dengan nada emosi.

"Itu cuma palsu." ketus Rakana, yang langsung berdecih tidak suka. Dirinya berkata tanpa dosa, tidak ada kata menyesal apalagi takut orang-orang akan sakit hati akan mendengar itu, membuat tamparan sang kakek Rakana juga tidak bisa terelakan lagi.

Yafis bukannya sengaja melepaskan, ataupun membiarkan tangan kakeknya melayang di udara dan tepat mengenai pipi Rakana. Hanya saja dirinya masi terkejut dengan kata-kata yang terucap dengan begitu entengnya dari mulut Rakana, sedangkan Rakana masi diam, memegangi pipinya yang mulai terasa panas bercampur rasa kesemutan. Tamparan kakeknya tidak main-main, walaupun usianya sudah tua renta.

"Kakek!" Asya yang tidak tega melihat Rakana langsung berteriak tidak suka, ia menatap nyalang dengan napas yang memburu. Wajahnya mendadak pucat pasi, dan itu tidak lepas dari perhatian Rakana.

Berbeda dengan yang lain malah langsung diam, Yafis yang tau adiknya kambuh langsung memegangi pundaknya. Menyuruhnya duduk dan berusaha membuat adiknya tenang. Bahkan baru membentak segitu saja Asya sudah kesakitan, membuat napasnya jadi ikut terasa terhambat. Yafis tau adiknya butuh obat, makannya ia langsung berlari untuk mengambilnya di kamar sang Asya.

Ingin rasanya Rakana mendekat, melihat kakaknya kesakitan seperti dulu waktu Rakana kecil, sedikit dari bagian hatinya terasa teriris. Perih dan menyakitkan. Tangan Rakana berlajan naik dan hendak terulur, sebelum sang kakek yang masi sempat-sempatnya memberikan Rakana tamparan kedua.

"Ini karna ulah kamu, dasar anak kurang ajar!" hina sang kakek, yang setelahnya langsung melewati Rakana dan mendekati Asya. Dengan sangat telaten dan lembut, kakeknya itu mengelus wajah pucat Asya. Banyak kata maaf dengan wajah memelas ia cetuskan, serta beberapa kata penenang.

Rakana sadar, hadirnya tidak dibutuhnya, jadi ia langsung melenggang pergi ke kamar. Yafis yang telah kembali tidak sengaja berpapasan, tapi Yafis tidak terlalu hirau, karena adiknya Asya lebih butuh dirinya sekarang.

***
Rakana yang baru sampai kamar langsung menutup pintunya kasar, menguncinya dari dalam. Rakana tidak bisa melihat semuanya. Rakana benci keluarga, agar tidak ada duka terasa di saat satu-persatu gugur.

Rakana tidak jahat, Rakana sayang mereka, dan Rakana tidak ingin kehilangan. Ego Rakana memang besar, tapi rasa bencinya hanyalah sebuah pencetusan untuk menutupi semua kerapuhan. Sahabatnya mungkin sudah sering memberi solusi untuk pergi, tetapi Rakana menolak, karena bagaimanapun meninggalkan keluarga bukannya hal yang mudah untuk Rakana.

Di tengah rasa takutnya, Rakana mendekat ke arah laci, mengobrak-abrik isinya dengan brutal. Ada banyak jenis obat, tapi bukan itu yang dibutuhkan. Rakana yang mencari dengan sedikit emosi akhirnya bisa menemukannya, dengan waktu yang lebih lama.

Sudah satu minggu Rakana tidak menggunakannya. Rakana menahan diri dan menekankan nafsunya. Rakana ingin hidup normal tanpa bergantung barang haram tersebut, tetapi untuk kali ini Rakana butuh. Ia mendudukan dirinya di lantai, bersandar pada bibir kasur.

Tarikan napas dalam terdengar, sampai Rakana mulai mengarahkan jarum suntik tersebut pada tangannya. Tidak ada ekspresi, bahkan setelah jarum suntik itu berhasil menembus kulit lengannya. Ini yang selalu Rakana butuhkan, ketenangan dan hidup tanpa beban. Jarum suntik itu terjatuh, di saat sudah tidak ada isinya. Rakana mendongak, menatap langit-langit kamarnya.

"Maafin Rakana, bu. Rakana terlalu lelah menghadapi semua tanpa bantuan siapapun."


Lama nggak jumpa ni sama Rakana. Gimana ada yang kangen nggak ya? yang kangen angkat tangan dong, entar kalo ada waktu doubel up deh. Selamat membaca😙

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang