Jam dua belas malam, menjadi waktu untuk orang-orang tidur lelap, melepas penat yang begitu menyiksa selama sehari, tetapi tidak bagi Rakana. Jari-jarinya yang lihai tampak sibuk menulis sesuatu di atas kertas putih. Bukannya tidak ada kerjaan, dirinya selalu sulit tidur.
Jujur lama-lama Rakana lelah, menunggu kantuk yang tak kunjung didapat. Segala hal sudah dilakukan. bahkan Rakana sampai melakan sesuatu yang bisa membuat dirinya lebih lelah, dan berakhir dengan mengantuk, tetapi sia-sia. Rakana juga sudah selalu menjauhkan layar ponsel satu jam sebelum tidur, sama saja, tidak mempan.
Bukannya mengantuk, tangan Rakana yang malah sakit. Matanya masi segar bugar padahal badannya masih lemas. Kepalanya terus berdenyut sakit tanpa henti. Itu sangat menganggu sekali, tapi ia juga malas ingin menelan obat pereda rasa sakitnya. Rakana yang ingin sekalian semuanya hilang saja, mengambil obat tidur di laci belajarnya. Sepertinya kamar Rakana sudah jadi apotek, hampir disetiap laci dan disetiap tempat ada obat, walaupun jenisnya berbeda-beda.
Kembali seperti biasa, setelah meminum obat itu ia akan langsung naik ke atas ranjang, merebahkan dirinya menunggu mimpi mejemputnya. Kalau tidak begitu, selemas apapun, selelah apapun, matanya pasti akan sulit terpejam sampai pagi, dan hal itu akan menambah rasa pusingnya.
Semakin waktu berjalan, semakin terasa dari efek obat itu, dirinya akan merasa sedikit tenang secara berlahan, hingga hadir ibunya kembali terbayang. "Rakana kemarin ngerengek pengen ikut ibu loh, kok belum dijemput ya sampe sekarang?" Rakana mulai meracau, dengan bayangan wajah ibunya ada di pelupuk mata.
"Rakana udah nggak sabar nunggunya." mata Rakana terpejam, dengan bibir tipisnya yang terkantup rapat, menarik napas dalam, lalu menghembuskannya. "Sekarang ketemu di mimpi juga nggak apa-apa," tabahnya. Hati siapapun pasti akan terenyuh mendengar kata-kata polos yang keluar dari mulut Rakana.
Hingga semua terganti hening, Rakana akhirnya dibawa oleh mimpi. Ia tertidur dengan wajah yang begitu damai. Bebannya lenyap, lelahnya musnah tergantikan dengan
wajah polos tanpa beban.***
Hari masi sangat pagi, sekitar jam setengah tujuh, Yafis sudah fokus di depan laptop mengerjakan beberapa tugas kuliahnya yang menumpuk. Memanglah sangat asik pagi-pagi sekali, bersamaan dengan matahari baru muncul berlahan sudah disibukkan oleh sebuah tugas. Beruntung Yafis punya tekat yang kuat akan menjadi dokter muda suatu saat nanti, jadi semuanya bisa Yafis lakukan dengan senang hati.ditengah dirinya yang sangat fokus mengetikkan sesuatu di dalam laptopnya, mendadak Yafis berhenti, saat seorang pembantunya datang dengan sedikit membukukkan badannya sopan. Ia meminta izin untuk bicara dengan bahasa isyarat.
Yafis mendonggak, menimbang sebentar, tapi saat melihat tatapan bibinya yang begitu serius, ia langsung mengizinkannya.
"Ada apa, Bik. Ada sesuatu yang ditemukan?" tanya Yafis dengan tatapan teduh, namun ada harap akan kabar apa yang akan dibawa oleh pembantunya itu.
"Ini den, saya menemukan sebuah kulit obat di kamar den Rakana," ucap pembantu berusia 50 tahun keatas itu.
"Mana?" tagih Yafis penasaran, ia ingin tau obat apa yang dimangsud sang pembantunya. Setau Yafis Rakana memang sering mengkomsumsi obat, tapi tidak pernah Yafis tau itu obat apa. Tepat setelah sang bibi menyerahkan bekas bungkus obat tersebut Yafis mendesah kesal. Bungkusnya sudah rusak parah, sepertinya Rakana sengaja menyobeknya berulang kali, agar tulisan dan nama obatnya tidak bisa dibaca. Rakana yang pintar.
"Bagaimana den?"
"Tidak bisa dibaca," kesal Yafis melempar kulit obat itu ke atas meja. Yafis yang lelah menyederkan badannya ke belakang, dengan tangan kanan memijit pangkal hidupnya. Rakana itu adiknya, bahkan tinggal seatap, tapi Yafis tidak tau apapun tentang Rakana. Miris memang.
Masalahnya ini karena Rakana yang terlalu tertutup atau dirinya yang malah menyerah saat Rakana membangun tembok pertahana yang begitu tinggi? Entalah, Yafis merasa binggung, tapi ia mulai detik ini ia ingin tau banyak tentang Rakana, walaupun sulit. Yafis sebenarnya ingin masuk ke kamar Rakana, tapi selalu dikunci, entah itu saat orangnya ada di dalam ataupun tidak.
Yafis yang nyaman menutup matanya sambil memikirkan Rakana langsung terperanjat, mendengar suara sepatu orang yang menuruni tangga. Itu pasti Rakana, yang akan langsung melewati meja makan serta ruang tamu. Yafis yang ingat tentang kulit obat buru-buru mencegat jalan anak itu.
Yafis berdiri, menghalagi jalan Rakana dengan merentangkan kedua tangannya.
"Ada apa?" datar Rakana, yang entah kenapa kakaknya selalu menggagu hidupnya yang tenang. Tapi tatapan serius dan tegas Yafis membuat Rakana terpaku sebentar, mirip sekali dengan ayahnya, sedangkan Yafis yang melihat Rakana memasang wajah dingin menghela napas, bukannya takut ditatap begitu wajah Rakana malah semakin dingin.
"Ada apa? buru bilang, jangan banyak bercanda, gue nggak suka!" tekankan Rakana pada setiap katanya.
"Seharusnya gue yang marah sebagai Kakak yang tau adiknya diem-diem make obat, dan parahnya lagi gue nggak tau itu obat apa." Yafis menatap nyalang, tapi Rakana hanya tersenyum sinis.
"Nggak usah drama, basi!" ketus Rakana, dengan tatapan yang begitu muak.
"Drama lo bilang? Lo udah sembunyiin hal besar, dan sekarang sebagai adek lo harus kasi tau, obat apa yang selama ini lo minum?" desak Yafis, ia ingin tau tentang Rakana sekarang. Yafis tidak ingin menyesal karena telah menjadi kakak yang gagal. Berbeda dengan Rakana yang diam-diam melirik kulit obat yang ada di samping laptop kakaknya. "Ternyata obat itu," batin Rakana.
"Jawab!" sentak Yafis. Melihat Rakana yang hanya diam Yafis jadi emosi, ia tidak mau mau dibohongi lagi atau adiknya banyak menyembunyikan fakta dari dirinya.
"Terus kalo gue bilang, lo mau apa?" sungut Rakana, menaikkan kedua alisnya. Ia berjalan menuju meja dan mengambil kulit obat tersebut. "Kalo gue bilang ini narkoba bukan obat, lo mau apa?"
Yafis membalalakan matanya, ia merebut kulit obat itu lalu kembali memeriksanya. Tidak mungkin, itu bukan narkoba dan Yafis yakin. Dengan wajah cemas Yafis kembali mengakat wajahnya, menatap Rakana yang hanya memasang wajah datar. "Ini bukan narkoba, lo jangan bohong!"
"Yang bilang itu seriusan narkoba siapa?" Rakana membalikkan kata-katanya, membuat Yafis terdiam dengan bibir mengatup rapat. Dirinya kalah lagi, tentu saja, melawan Rakana yang keras tidaklah mudah, sedangkan Yafis adalah orang yang diberi sedikit kata-kata sanggahan serta argumen keras oleh Rakana saja sudah kalah.
"Ta-ta_"
"Gue mau berangkat, udah siang." Rakana melegang pergi, meninggalkan Yafis yang kalah telak, tidak mampu memaksa lagi, tapi belum genap dua langkah, Rakana kembali berbalik. "Oh iya, gue punya pesen. Jangan urus hidup gue lagi. Gue nggak suka, gue nggak sudi!" tekankan Rakana.
"Cih menyebalkan," desis Rakana dengan wajah sedikit memancing emosi. Seperti orang yang tidak tau balas budi sedikitpun. Sudah diberi perhatian malah tidak acuh.
"Kakak kenapa?" Pertanyaan Asya mampu membuat Yafis terjengit kaget, ia menoleh dan mendapati adiknya yang sudah lengkap dengan seragam sekolah berjalan mendekat kearahnya. "Karna Rakana ya?" tanya Asya setelah melihat Rakana sudah ada di ambang pintu.
"Hem ... seperti yang kamu tau." Jawab Yafis dengan nada lemah dan lesu. "Dia bukan Rakana kecil kita lagi." sendunya. Yafis sangat rindu Rakana kecil, yang polos, yang baik, yang manja, dan selalu jadi anak kesayangan. Sedikitpun Yafis tidak iri, karena dirinya sayang Rakana.
"Kakak tau, Asya juga ngerasa hal yang sama. Asya pengen Rakana yang dulu."
Yafis yang mengerti dengan perasaan adiknya langsung menepuk pundaknya beberapa kali, ia tersenyum kecil dengan penuh ketabahan. "Kamu yang sabar ya, kita tunggu Rakana bisa berubah lagi sama-sama."
Mendengar kata-kata Yafis, Asya hanya mampu mengangguk paksa. Mungkin menunggu adalah jalannya, walaupun tidak tau harus sampai kapan.
Huyuy up lagi, kira-kira ada yang nunggu nggak ya? Kuy vote dan komen sebanyak-banyaknya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...