Di luar ruang BK Rakana berterima kasih banyak kepada Freszo serta Arya yang sudah mau repot-repot menelpon ayahnya, membantu Rakana agar bisa mendapat wali.
"Ya sudah, kamu jangan nakal lagi ya," pesan Freszo tersenyum simpul, membuat Rakana mau tidak mau harus membalasnya. Freszo adalah orang baik yang telah banyak membantu Rakana selama ini. Hanya beliau yang dapat Rakana andalkan saat ketahuan ada masalah, atau mewakili siatu acara sekolah.
"Sekali lagi, makasi, Om."
Freszo menyenduh pundak Rakana, yang membuat Rakana langsung memandang tangan Freszo yang ada di pundaknya. "Kamu kan udah saya anggap anak sendiri, jadi nggak ada kata maaf dan terima kasih."
Berlahan kedua sudut bibir Rakana terangkat, yang membentuk sebuah senyum tulus yang tidak pernah terlihat. Hanya kepada Freszo, pacarnya, dan Arya. Hanya mereka yang kini Rakana percaya.
"Eh iya, Om permisi pulang dulu ya," pamit Freszo.
Rakana hanya mengangguk, membiarkan ayah Arya pergi bersama anaknya. Mungkin Arya berniat mengantar ayahnya sebentar. Sedangkan Rakana, entah dirinya mau ke mana sekarang? Tidak ada tujuan, seperti alur hidupnya.
Rakana berbalik, hendak kembali ke kelas saja, dibanding sama sekali dirinya tidak punya tujuan. Tetapi saat berbalik, tatapan matanya tidak sengaja menangkap kedatangan sang ayah. Untuk apa ayahnya kemari? Apakah untuk dirinya?
Rakana langsung tertawa miris, bahkan ingin mentertawakan dirinya yang terlalu berharap besar. Dari pada sakit hati, Rakana hendak berjalan melewatinya saja. Tidak bertegur sapa bagai orang asing tak saling kenal, ataupun bertemu, tapi sebelum itu ....
"Tunggu!"
Yogi--ayah dari Rakana menyuruh anak itu untuk berhenti. Langkah Rakana pun merespon dengan ikut berhenti sesuai perintah. Rakana berbalik, menatap mata tajam ayahnya yang begitu teduh. Jujur saja, sangat jarang sekali Rakana dapat tatapan tajam dari ayahnya. Hanya tatapan teduh dan penuh sosok keayahan lah yang selalu terlihat. Tetapi Rakana juga selalu masabodo karena rasa bencinya.
"Ada apa?" dingin Rakana.
"Ma_
"Ayah tau, Rakana nggak pernah nerima maaf, kalaupun nerima udah dari dulu Rakana maafin Ayah. Tapi selagi salah awal belum dimaafin, sampe mulut ayah berbusapun maaf yang sekarang nggak akan diterima," potong Rakana, tanpa memberikan izin si lawan bicara menyelesaikan ucapannya.
Yogi menunduk pasrah. Selalu kelu untuk bibir Yogi berucap, saat kata-kata pedih Rakana yang keluar. Tenggorokannya terasa tercekat, tapi masi ia paksa untuk angkat suara. "Tadi kakak kamu masuk rumah sakit."
"Udah aku duga. Lagian anak itu nomor satu kan. Udah Rakana nggak peduli, kalaupun Rakana peduli, belum tentu kalian bakal peduli?" Rakana hendak melanjutkan langkahnya pergi, tapi ditahan oleh Yogi.
"Kamu nggak bisa dengerin penjelasan Ayah? Sekali aja," pinta Yogi, tapi senyum sinis yang didapatkan.
"Rakana bosen, Rakana muak, toh gunanya buat Rakana nggak ada."
Helaan napas lelah terdengar dari mulut Yogi. Ia pasrah, sama seperti beberapa tahun lalu, hanya bisa diam, tanpa meluruskan semua kesalah pahaman. Dirinya terlalu takut kalau akan tambah menggores hati salah satunya.
"Udah kan?" tanya Rakana menatap wajah ayahnya yang terlihat sedikit menunduk, tapi langsung terangkat saat Rakana bertanya 'sudah kan?'
"Rakana mau minta satu hal."
"Apa? Rakana nggak mau nunggu lama."
"Ke rumah sakit yuk, kakak kamu minta kamu dateng ke sana."
Rakana langsung membuang pandangannya, kedua tangannya sudah mengepal kuat. Benar kata Arya, yang ayahnya selalu pedulikan adalah kedua kakaknya, sedangkan dirinya? Mungkin sudah ikut lenyap sejak ibunya meninggal.
"Rakana ... Ayah mohon," pinta ayahnya sambil memohon, membuat senyum Rakana malah makin kecut.
"Cuma karna dia Ayah mau mohon-mohon sama Rakana, tapi kalo urusan Rakana, Ayah selalu aja lupa," ungkap Rakana dengan jujur, ia sudah tidak bisa mengendalikan rasa sakit hatinya. "Rakana bakal dateng, tenang aja."
Yogi langsung mengakat pandangannya, sedikit terkejut saat Rakana dengan mudah mengatakan 'akan datang' tapi sepertinya ia tidak mau berbasa-basi, buktinya setelah mengatakan itu Rakana langsung melenggang pergi, tak hirau dengan ayahnya masi tetap diam di tempat.
***
Di parkiran, Arya dan Freszo tertawa puas, mereka berhasil lagi menbuat Rakana selangkah lebih jauh dari keluarganya. Semakin tersayat hati anak itu, akan semakin sulit keluarganya dapat mengembalikan Rakana yang dulu."Sepertinya keberuntungan selalu berpihak pada kita ya," senang Arya. Selama ini rencananya selalu mulus dan ada saja sela untuk membuat semuanya makin mendekati kata dari berhasil.
"Kamu juga bener, menghacurkan berlahan ternyata lebih seru, dibanding menghacurkan sekali kerja." Freszo memandang mobil Yogi yang parkit di sebelah mobilnya. "Hancurnya Yogi juga akan lebih menyenangkan."
"Ayah yang malang." Arya pura-pura memasang wajah kasihan, lalu tertawa puas. Mereka selalu begitu, sangat kompak saat melakukan kejahatan.
Mereka terlalu puas dengan hasil kerjanya hari ini, membuatnya sangat begitu bahagai, tapi saat menenggok jam, Freszo sepertinya tidak punya waktu banyak, jadi harus segera tiba di kantor.
"Ayah ke kantor dulu ya," pamit Freszo yang di balas anggukan oleh Arya.
***
Jam sudah menunjukan pukul 2 siang. Tanpa berganti baju Rakana langsung ke rumah sakit untuk menemui kakaknya. Tidak ada unsur paksaan, Rakana memang mau datang dengan niatnya sendiri.Rakana terus mengajak langkahnya, melewati setiap lorong rumah sakit dengan wajah datar. Rakana yang sudah hapal betul dengan area rumah sakit itu tidak perlu kebingungan untuk mencari kamar Asya dirawat.
"Untuk apa kamu datang kemari?!" tepat saat langkahnya sudah sangat mendekati ruangan Asya, kakeknya ada di sana. Mungkin sedang menjaga cucu kesayangannya itu.
"Adek kurang ajar seperti kamu, tidak pantas punya kakak kaya Asya!"
"Siapa yang mengagap Asya kakak selama ini?" Rakana dengan berani menatap kedua mata kakeknya. "Rakana hidup, kalian juga hidup, dengan anggapan masing-masing nama sudah mati."
Hening, butuh waktu untuk Anto mencermati kata-kata Rakana, tapi Rakana tidak menunggu itu, ia langsung masuk ke kamar Asya, yang ternyata ada neneknya di sana.
Aira--nenek Rakana yang sadar cucunya datang langsung berdiri, ikut menatapnya dengan tajam. Dua orang itu memang sangat membeci Rakana, entah karena apa. Beruntung Rakana selalu punya kesabaran hati untuk menghadapi mereka. Tanpa peduli Rakana tetap berjalan mendekat ke ranjang Asya, menatap wajah pucatnya yang tertidur lelap.
"Mau apa kamu?!"
Rakana tidak menyahut, hanya mengakat pandangannya saja, lalu kembali menunduk, memandang tubuh Asya.
"Jangan pernah macam-macam kamu, dengan cucu saya!"
Rakana mangut-mangut, ia mengeluarkan sebatang coklat dari kantung baju hoodie yang ia pakai. Rakana langsung menaruhnya di atas nakas, memandang neneknya dengan senyum sinis.
"Tuduhan apa lagi yang mau dikeluarian? Ayok keluarin. Rakana pengen denger lagi!" perintah Rakana sedikit dengan tekanan.
Aira balas memandang tajam, tangan-tangan keriputnya sudah terangkat untuk menunjuk Rakana. "Kamu anak sialan, yang selalu bikin jadi penyeban cucu saya sakit, lebih baik, enyah kamu dari dunia ini!"
"Okey." jawab Rakana cepat, "Rakana bakal enyah, secepatnya!" Rakana menekankan kata 'secepatnya' lalu melenggang pergi. Meninggalkan Aini yang hanya mematung. Ia sadar, sepertinya ada yang salah dalam perbincangan tadi, dan mengapa ia merasa bersalah sekarang?
Salah paham atau memang kesalahan? Menurut kalian gimana. Siapa yang salah dan kenapa jadi salah?
Kuy berikan komentar kalian, terus pencet bintang yang ada di pojok kiri. share link dan bantu author promosi. Makasi buat yang udah mampir dan jangan lupa buat nunggu part selanjutnya.
Dari Rakana dan kawan-kawan mengucapkan, sampai jumpa~~
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...