Seorang anak kecil menatap ibunya yang sudah pucat pasi. Hidung dan mulutnya tertutup selang oksigen. Tangan kanannya tertanjap selang infus, dan badannya banyak terpasang kabel-kebal memanjang yang langsung menyambung dengan layar monitor. Kata ayahnya, dari sanalah biasanya para dokter memantau kondisi ibunya.
Rakana Razela putra adalah nama lengkapnya. Ia biasa dipanggil Rakana, anak ketiga dari keluarga Razela. Rakana juga menjadi anak bungsu dari kedua kakaknya yang berjenis kelamin laki-laki dan perempuan.
Rakana yang masi berumur sepuluh tahun dengan sabar menunggu ibunya sadar. Hanya seorang diri, ayahnya sedang ada urusan di luar.
Tangan-Tangan mungil Rakana terangkat, mengelus pipi mulus ibunya. "Ibu kapan bangun? Rakana pengen main," ucap Rakana setengah merengek. Mata Rakana sedikit berkaca-kaca, walaupun masi kecil Rakana sudah paham dan mengerti kondisi ibunya saat ini. Kehilangan sudah selalu membayangi setiap detik waktu yang Rakana lewati, karena Rakana tau, kapanpun ibunya bisa pergi ke surga, meninggalkan Rakana yang nakal.
"Bu ...," panggil Rakana yang tentu tidak ada sahutan. Hanya mesin-mesin penunjang hidup ibunya yang berbunyi. "Rakana boleh minta satu hal nggak?"
Jeda sebentar, Rakana menarik napas dalam. "Rakana pengen ikut ibu kemanapun, hiks."
"Rakana nggak mau ditinggal, Rakana maunya sama ibu."
Air mata Rakana mengalir, tapi segera ia usap. "Rakana sayang Ibu, Rakana takut ditinggal Ibu."
"Rakana boleh ikut kan ke surga. Nanti Rakana janji nggak nakal lagi deh. Rakana juga nggak akan susahin ibu, sampe ibu kesakitan karna ngurus Rakana." Janji anak itu benar-benar tulus, dengan kata yang mungkin belum ia pahami sepenuhnya.
Setelah menunggu jawaban tapi tidak ada sahutan, Rakana kembali angkat suara, "Rakana ikut, dan Rakana nggak akan pernah mau ditinggal."
Kata-kata itu bagai sebuah harap yang sudah ada di jurang gagal. Tidak akan mungkin terujud, bahkan tidak akan ada keajaiban yang mampu mengabulkannya.
Rakana masi kecil, Rakana anak polos. Dengan sedikit kesusahan Rakana turun dari kursinya. "Bu ... Rakana mau izin sama ayah dulu ya. Rakana bilang buat beresin barang Rakana, soalnya Rakana pengen ikut ibu ke surga. Rakana bakal tinggal sama Ibu."
Asyana Nur Razela, kakak kedua Rakana, yang keadannya hampir sama dengan sang ibu menangis melihat dan mendengar apa yang adiknya katakan. Andai Asyana sudah mampu berdiri, ia akan berlari dan memeluk Rakan erat. Tidak akan Asya biarkan Rakana berkata begitu.
"Andai kamu tau, surga bukan rumah, tapi tempat terakhir seseorang setelah meninggal," batin Asya sambil mengusap matanya yang berair.
***
Di luar Rakana melihat ayahnya sedang bicara dengan dokter. Rakana tidak berani menyela atau menganggu, jadi ia hanya diam di belakang ayahnya."Maaf, Pak. Istri bapak sudah tidak ada harapan, jadi saya sebagai Dokter menyarankan untuk mendonorkan jantung istri bapak kepada Putri bapak saja. Saya berkata begini agar salah satu dari mereka ada yang selamat."
"Tapi apa tidak ada solusi lain?" tanya Yogi penuh harap. Dirinya tidak akan sanggup kehilangan salah satu. Katakanlah Yogi egois, tapi keduanya memang berharga bagi Yogi.
"Setekah operasi, istri bapak tidak ada kemajuan. Operasinya belum benar-benar berhasil, dan kecil harapan istri bapak bisa sembuh." Dokter itu kembali menjelaskannya dengan teliti. Membuat Yogi tidak punya pilihan selain mengangguk.
Ia akan mengihklaskan istrinya. Tanpa sadar dua pasang mata sudah menatap ayahnya marah. "Jantungnya diambil sama dengan mati. Jadi itu yang dibilang ayah ke surga?" tatapannya penuh intimidasi, walaupun umurnya masi sangat kecil.
"Maafin Ayah, Nak," ucap Yogi dengan suara bergetar. Ia bersimpuh di depan putranya sambil memegang kedua pundaknya. "Ayah nggak punya pilihan."
Rakana langsung mundur. Seolah dirinya jijik disentuh ayahnya. Rakana menggeleng keras, dengan air mata terus berjatuhan. "Ayah jahat," lirih Rakana.
"Rakana kamu ngertiin ayah ya, Nak," pinta yogi lembut, matanya juga ikut berkaca-kaca.
"Aku nggak akan maafin Ayah kalo biarin jantung ibu diambil."
"Maaf Ayah nggak bisa ngelakuin apa-apa." Yogi menunduk pasrah. Membuat kilatan benci di mata Rakana tumbuh.
"Mulai sekarang Rakana bakal benci Ayah, Kak Asya dan keluarga Razela. Kalian udah ambil ibu dari Rakana!"
Plak.
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...