Rakana yang hendak sekolah, membelokkan mobilnya ke lingkungan rumah sakit. Hari ini dirinya ada janji dengan Dokter Rendra, untuk mengetahui kondisinya setelah kemarin melakukman cek.
Parkiran luas, gedung menjulang tinggi, serta raut pasien yang tak hayal kebanyakan murung telah Rakana hapal. Hampir setiap bulan dirinya ke sini, kalau tidak untuk memeriksakan kondisinya, pasti ada anak panti yang kambuh.
Langkah Rakana yang lebar dan cukup cepat, membuat beberapa orang menatapnya kesetika. Bukan karena tampangnya, tetapi karena pagi-pagi ke rumah sakit, padahal masi mengenakan seragam sekolah lengkap.
Entah kenapa, makin dekat Rakana akan ruangan dokter, langkahnya seolah mengulur. Ada kenyataan pahit yang sedang Rakana tak ingin tau, tetapi sulit untuk Rakana tolak.
"Ini bukan hal yang buruk, Rakana," gumam Rakana menyemangati dirinya sendiri. Ia menghela napas dan masuk ke dalam ruangan. Terlihat Dokter Rendra sudah menunggu dirinya.
Rakana tak pernah merasa canggung akan siapapun, tanpa berucap dan disuruhpun ia duduk di hadapan Dokter Rendra. Rautnya memang tenang, tetapi tidak ada yang tau dengan kegelisahan hati Rakana.
"Keputusanmu untuk periksa memang sudah tepat. Aku di sini akan memberikan perkembangan penyakitmu, agar tidak membuat dirimu selalu remeh."
Rakana menghela napas. "Langsung saja!"
"Rakana, segera bawa orang tuamu ketemu dengan saya. Penyakit kamu sudah tidak bisa diajak main-main. Bahkan, saya yakin kamu mulai kehilangan keseimbangan, 'bukan?"
"Kalau sudah tau, langsung saja ke intinya!" Rakana tak suka mendengar apapun, apalagi kata-kata yang seolah membuatnya cemas dan mau menurut pada dokter di depannya.
"Rakana sadarlah! Penyakitmu sudah ke jenjang akhir. Kematian bisa saja mengambil nyawamu kurang dari waktu satu bulan, serta kelumpuhan tak hayal hanya akan menunggu waktu beberapa minggu, kalau kamu masi kekeh tidak mau berobat!" Terlihat Dokter Rendra menyatakan kalimatnya dengan nada menggebu-gebu, sudah lelah dirinya membujuk, nyatanya Rakana masi saja enggan menurut.
Sorot mata Rakana mendadak sayu, hatinya bergemuruh menolak kenyataan. Ia masi ingin sebuah kesempatan, walaupun hanya beberapa bulan lagi, tetapi Rakana juga enggan untuk berobat.
"Apa aku boleh minta satu hal?"
Dokter Rendra mengernyit, menatap Rakana walaupun iya tetap mengiyakan.
"Kalau nanti udah nggak meyakinkan lagi kondisi Rakana buat diselamatin, jangan buat Rakana menderita dengan segala cara untuk mengembalikkan detak jantung Rakana. Aku pengen minta bantuan juga, donorin jantung Rakana buat pasien yang bernama Asyana Nur Razela."
Dokter Rendra hanya bisa mengaga tak percaya. Untuk pertama kalinya ia mendengar Rakana bicara sepanjang itu tapi dengan permintaan yang tentu akan ia tolak mentah-mentah.
"Rakana mohon," ucap Rakana dengan tatapan sulit diartikan. "Rakana sudah milih jalan, lagian Rakana udah capek."
Kalau saja ini bukan pasiennya, Dokter Rendra sudah menyadarkan Rakana akan kata-katanya tadi. Apa dirinya pikir tidak akan ada yang sedih akan kepergiannya nanti. Walaupun nyatanya Dokter Rendra tidak tau apapun. Bahkan, informasi tentang keluarga Rakana saja tidak pernah bisa Dokter Rendra sentuh.
"Mau bagaimapun saya juga tidak bisa apa. Tapi ingat, ada orang yang pasti akan kecewa dengan keputusanmu."
"Biarkan rasa kecewa mereka jadi pelajaran, bahwa semua pelajaran hidup dan kejadian besar, barulah dapat membuka mata selama ini kadang tertutup benci serta dendam."
Masi tak masuk di akal, sebagai seorang dokter yang tidak ingin melewati batasan hanya bisa mengangguk. Andai saja dirinya tau siapa orang tua dari keluarga Rakana, sudah dirinya hajar mereka. Tak taukah bagaimana kondisi anaknya saat ini.
***
Berselimut kelam, menuduk sepi dalam duka lara. Rakana seorang diri. Duduk tanpa tempat untuk berkeluh kesah.Bukan seperti Rakana sebelumnya, ia akan lebih menjaga jantungnya, karena kelak ini akan diberikan kepada sang kakak.
Bukan Rakana kejam, bukan juga Rakana benci. Selama ini Rakana berpura-pura tak peduli, menyembuyikan kebusukkan tiap orang yang takutnya terungkap. Karena mau bagaimanapun, Rakana akan menjaga mereka walaupun harus menjadikkan dirinya tameng dan siap menerima luka.
Orang-orang yang Rakana sayangipun adalah manusia yang dirinya angap sangat berharga. Tak akan pernah biarkan sejengkal luka mengenai mereka.
Hari kian gelap, membuat jalan setiap orang bisa tersesat. Namun, Rakana yang sejak awal tersesat hanya menghela napas. Entah kenapa dirinya mendadak lupa jalan pulang.
Rakana yang sudah ada di dalam mobil menyalahkannya kembali. Sudah cukup dirinya merenung disalah satu taman yang tak cukup Rakana ingat.
Jam yang sudah menunjukkan pukul tuju, karena Rakana yang setelah pulang dari rumah sakit selalu perpindah tempat hanya sekedar menangkan diri serta mencari tenang.
***
Akhirnya setelah beberapa kali Rakana tak sadar melewati jalan rumahnya, serta ingatannya yang mendadak buram, tentang ke mana arahnya menuju rumah. Ia sampai tepat pukul sembilan malam.Malas memasukkan mobilnya ke dalam garasi, Rakana menyerahkan kuncinya ke salah satu satpam, agar dipindahkan. Sedangkan Rakana berjalan masuk dengan hati-hati.
Rakana kira semua sudah ada di kamar masing-masing, tapi tidak dengan kakaknya Yafis.
"Dari mana aja kamu?" tanya Yafis sedikit tegas. Dirinya bertanya karena tau, kalau balapan motor tidak akan pulang seawal ini.
"Dari luar, cari angin."
"Sampai semalam ini?" Yafis mengerutkan keningnya, membuat Rakana jengah dan memutar bola matanya malas.
Niatnya pulang adalah lanjut menenangkan diri di kamar, padahal beruntung dirinya tersesat hanya dua jam, berarti tidak terlalu larut untuk pulang.
"Kakak bukannya mau nuduh macem-macem, walaupun biasanya pulang lebih larut, tapi Kakak cuma pengen tau kegiatan adiknya."
"Gue kan udah bilang, cuma cari angin, terus ...."
"Terus apa?"
"Kesasar."
Jawaban sederhana yang Rakana berikan mampu membuat Yafis melongo. Dirinya ingin bertanya mangsudnya, akan tetapi Rakana malah sudah pergi ke kamar duluan tanpa izin.
Udah masuk konflik menuju akhir ini, bentar lagi penyelesaian dan ending. Sebelum sejauh itu, apa si kesan kalian setelah baca cerita ini sampai titik ini?
Pertanyaan author di jawab dong, jangan pada diem bae nggak ada yang komen. Kan hati authornya potek.
Buat kalian yang suka sama cerira ini, jangan lupa komen, vote, dan rekomendasiin buat temen-temen kalian💝
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...