Kepalanya terasa sakit, badannya mendadak pegal-pegal semua. Rakana juga merasa mual-mual, tidak biasanya dirinya kembali selemah ini. Sudah lama ia abai dengan keadaannya, tapi baru sekarang tubuhnya itu berulah.
Dengan sekuat tenaga, Rakana meringkuk di atas kasur, ia juga sedang panas dingin. Sekarang bukan penyakitnya saja yang kambuh, tetapi ia juga mendadak demam. Rakana mencoba bertahan, dengan badan yang sudah mengigil parah.
Rakana meraih lacinya. Ia membukanya berlahan, berharap ada obat yang bisa meredakan sakit kepalanya. Tetapi sayang, obatnya itu sudah lama ia tidak beli.
"Sekarang ia harus apa?" batin Rakana, tidak mungkin juga ia bisa menghilangkan rasa sakit kepalanya tanpa obat. Itu mustahil, hanya akan membuat Rakana makin gila rasanya. Sakitnya benar-benar seperti sebuah hantaman ratusan balok dalam sekali serangan.
Rakana berpasrah diri. Ia turun dari ranjangnya, dan beranjak mengambil baju tebalnya. Pergi dengan bertaruh nyawa lebih baik, dari pada mati tanpa usaha. Setidaknya matinya tidak semedihkan ini.
Berjalan keluar kamar, dengan menenteng kunci mobil. Ia berusaha terlihat baik-baik saja, walaupun sudah mati-matian menahan sakit. Badannya juga jadi suka oleng ke kiri dan ke kanan. Sampai di anak tangga terakhir. Rakana benar-benar oleh dan hampir mencium lantai. Beruntung ayahnya ada di sana, dan menangkapnya dengan matanya yang tertutup rapat, tau kalau sekarang ada tidak harapan.
"Rakana, badan kamu," Yogi berujar dengan wajah terlihat kaget. Merasakan badan anaknya yang sangat panas, membuat jiwa-jiwa Yogi mengertak keras. Kanapa ia bisa abai sampai seperti ini.
Rakana yang berusaha keras menegaknya badannya, beradu tatap dengan mata ayahnya. Rakana tidak menunjukkan guratan sakitnya, walaupun hati Rakana sudah nenjerit, rapuhnya hendak muncul sambil megadu, sesakit apa badannya. Seremuk apa rasa hatinya saat ini. Tetapi Rakana tidak bisa, hari ini, esok atau nanti, ia tidak akan mengubah pemikiran orang tentangnya.
Tatapan dingin dan tak acuhnya, hendak melewati ayahnya begitu saja, sebelum ayahnya megegam tangan Rakana erat, membuat pria yang sudah hampir tak punya tenaga itu berhenti bergerak. Kalau saja dipaksa lepas, maka Rakana pasti akan berakhir jatuh.
"Ada apa?" tanya Rakana berbalik badan. Ia memandang tangan kokoh ayahnya yang nenahan lengan tangannya.
"Mau ke mana? Badan kamu juga panas banget." Yogi mengeluarkan suara lembut, ia memandang Rakana dengan penuh tatapan kwatir. Tetapi Rakana malah membalasnya dengan senyum sinis.
"Bukan urusan, Ayah," ketusnya berusaha lepas tapi malah berkhir oleng. Beruntung keburu kakaknya datang dan menangkap tubuh Rakana.
"Lagi," batin Rakana mengeram kesal. Kenapa tubuhnya selemah ini? Rasa kasihan bukan yang Rakana harapkan. Kalau terus begini, semuanya akan terbongkar pelan-pelan. Ia sudah tidak tahan merasakan sakit kepalanya yang semakin di luar kendali. Tanpa sadar badannya malah melemas. Yafis yang tidak kuat menahan badan adiknya berjongkok, dengan Rakana yang sudah bersimpuh. "Bentar, kamu tenang dulu, Kakak ambilin obat dulu, ya."
Beberapa detik dalam posisi itu. Rakana kembali bangkit berlahan. Ia tidak pernah lemah, itu yang Rakana tanamkan pada dirinya sendiri. Yafis yang mendapat tatapan tajam juga langsung mundur. "Nggak akan mempan, yang ada lo bius gue."
Yafis membelalakkan matanya. Rencananya memang itu, membius Rakana lalu membawanya ke rumah sakit diam-diam. Pasalnya hanya Rakana yang tidak pernah cek kesehatan bulanan di keluarga ini. Kalaupun pernah, Rakana tidak pernah menunjukan hasilnya pada orang-orang.
"Gini deh, Ayah anter kamu ke rumah sakit, ya," izin Yogi, tapi Rakana hanya melirik saja.
"Rakana nggak manja, dia pasti masi bisa nyetir sendiri. Anak laki kok dimanjain gitu," cibir Anto. Ia tersenyum sinis, memandang Rakana dengan tatapan angkuh. "Orang kaya dia kok masi dipeduliin. Orang sama kita aja nggak peduli."
Rakana memejamkan matanya sebentar. Ia tidak boleh terlibar perdebatan apapun, sedikit tenaga akan sangat berguna hari. Jadi lebih baik Rakana melegang pergi, meninggalkan tiga pria dewasa itu yang saling berdebat.
Tidak ingin cari mati juga, Rakana memanggil sopir keluarga, menyuruhnya segera ke rumah sakit tujuan. Keluarganya juga tidak ada yang bisa diandalkan.
***
Rakana mengetuk ruang, yang sudah jelas ruang dokter spesialis kanker otak. Dirinya mengindap penyakit itu, kalau ditanya apakah sudah lama? Tidak cukup lama setelah Rakana pikir-pikir. Ibunya saja mengidap penyakit itu hanya punya sisa hidup empat bulan saja, sedangkan Rakana? Ia sudah lebih dari empat bulan hidup, sejak dokter memberikan fakta, dirinya terkena kanker yang sama dengan sang ibu."Masuk!"
Intruksi masuk terdengar, membuat Rakana tanpa ragu membuka ruangan tersebut. Seperti biasa, dokter Rendra akan terlebih senang saat pasien kesayangannya itu mau datang. Harapannya adalah Rakana memeriksa kemajuan kankernya lalu melakukan pengobatan, tetapi sayangnya Rakana tidak akan pernah mau melakukan itu.
Rakana duduk, membuat senyum dokter itu langsung luntur. Sadar tak akan ada seinci senyumpun yang terbit dari Rakana untuknya. Dokter Rendra yang profesional berdehem, mulai mau bertanya. "Mau per_"
"Nanya resep obat, yang kemarin hilang," potong Rakana dengan ketus sekaligus wajah datar. Tidak ada raut apapun dari wajahnya yang begitu pucat.
"Apa sekali-kali tidak periksa. Untuk melihat perkembangannya da_"
"Dan di sanalah aku akan semakin terpuruk." Senyum sinis terlihat, ia menatap dokter itu angkuh, berusaha menyembunyikan takut sekaligus luka dibaliknya. "Aku yang tidak pernah mengobatinya merasa akan sia-sia kalau penyakit itu dirawat. Yang ada melunjak dan makin parah. Buang-buang uang!"
Dokter Rendra menghela napas, entan kapan ia bisa berhasil membujuk Rakana. Sampai pada saat ingin memberikan resep obat, Dokter Rendra kembali menatap Rakana. "Kenapa tidak periksa sekalian, nanti obat yang lama tidak berfungsi lagi, bagaimana? Kelihatannya kamu juga sedang demam."
"Ck, aku yang punya badan, kenapa Dokter yang repot si?!" Rakana berdecak kesal, membuat Dokter Rendra kehabisan akal. "Kalau tidak mau, aku bisa cari dokter sendiri," ancam Rakana yang sudah berdiri dari duduknya.
"Yakin dokter lain mau menjaga rahasiamu rapat-rapat seperti aku?"
Rakana terdiam. Matanya memejam sebentar, sebelum pada akhirnya Rakana kembali duduk. Dokter Rendra juga tidak mau membuat pemuda itu makin kesal, makannya ia menyerahkan langsung resep obatnya. "Kalau kamu rutin kosumsi akan lebih baik. Kurangi obat penenang, yang sudah jadi candu bagimu itu."
Rakana mengangguk sikat, ia hendak pergi dan meninggalkan ruangan dokter Rendra, sebelum sebuah kalimat meluncur, tepat mengurungkan sebentar niat Rakana untuk membuka pintu.
"Kanker batang otak jenis Glioma akan menyebar cepat. Membuat penderitanya mengalami gaguan keseimbangan, lalu kelumpuhan. Maka setelah itu, nyawa hanya tinggal taruhan malaikat. Tak akan jelas kapan terjemput, entah detik itu, satu jam lagi, dua hari itu atau seminggu setelah kelumpuhan."
Bohong kalau Rakana bilang tak takut. Bayangan akan kematian penuh siksaan selalu terbanyang. Di mana semua dosanya akan menjadi bekal akhir perjalannya.
Ia tau apa yang akan terjadi nanti, karena sebelum hembusan napas terakhir, Rakana akan mengukap segalanya. Akan ada banyak orang yang mempertahankannya detik itu, tapi sedikitpun Rakana tak berharap dirinya akan berjuang dengan alat-alat medis yang hanya akan menyiksa tubuhnya.
Senyum yang ia tanpilkan tak lain adalah rasa takut tersembunyi. Jantungnya seolah berhenti berdetak mendengar kata mati, yang memang kadang ia harapkan. Tetapi sebisa mungkin ia juga ingin tuhan jauhkan. Rakana berbalik, ia tersenyum kosong. "Duka pasti akan datang di waktu itu tiba, tapi aku bakal tetap pergi dan menemui perjalanan akhir hidupku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Ravines and Wounds (Tamat)
Teen FictionDi sana jurang di sini luka. Ke sana jatuh, bertahan mati berlahan. Seolah tidak ada yang baik dalam pilihan hidup Rakana. Semuanya sesat, mengajak Rakana mati berlahan penuh dengan siksaan fisik dan mental. Rakana hanya remaja yang tidak pernah men...