Part 31 || Akhir Kisah Rakana?

2.7K 111 1
                                    

Jalan setapak tetapi penuh beling, atau jalan tanjakan yang sulit untuk dilalui, pilih manakah dirimu?

Bila itu pertanyaan balik kepada Rakana, maka pilihannya diam mungkin lebih baik. Tidak ada yang ingin Rakana gapai, hanya harapan semua akan baik-baik saja.

Dulu sekali Rakana pernah berkata kepada ibunya 'Rakana mau disayang ayah, jadi Rakana mau jadi anak baik. Rakana sayang kakak, jadi Rakana bakal jadi adek baik juga'

Air mata Rakana tidak terasa ikut terjatuh, rasa sakit di dadanya bergemuruh, bersamaan dengan kepalanya tidak tau situasi. Rakana tau ini bukan akhir dari kisah hidup, tetapi penutup yang akan berlanjut untuk dikenang.

Satu tarikan saja mulai terasa berat, mencoba menyambung kembali kalimat lama yang tiba-tiba terus berputar di kepalanya. Coletehan anak kecil yang belum tau apa-apa, seorang anak yang tidak pernah disentuh ayahnya. Menjadi Rakana polos yang hanya bisa menatap pilu dan rasa ingin disayang oleh kakek neneknya. Sebagai adik yang hanya bisa mendamba bagaimana rasanya bermain bersama kedua kakaknya.

Sekarang pun Rakana masi jadi Rakana polos, tetap berbuat baik dan menyembunyikan segala rahasia dalam jiwanya, yang akan dibawa mati dan selalu abadi tersimpan.

Sekalipun Rakana tidak pernah takut orang berkata kotor hanya karena ia terus menunjukkan sifat nakal, baginya sifat dirinya sudah tercetak abadi, akan tercoreng dengan noda melekat sepanjang waktu, karena Rakana dilahirkam untuk jadi sebuah daki menggagu.

"Ibu, Rakana boleh nyusul sekarang, kan?" Entah kenapa, diujung kesadarannya Rakana bertanya begitu, seolah melihat tang ibunya terulur di depan, menantinya untuk ikut menuju tempatnya sekarang.

Rakana yang tadi duduk mendadak berdiri, ia memegangi kepalanya dengan kedua tangan. Untuk mengurangi rasa sakit yang begitu menyiksa Rakana terus menjambak rambutnya. Menjatuhkan dirinya di atas rerumputan hijau yang ada di panti, berguling ke sana ke mari dengan teriakan pilu.

"Apa sesakit ini sebelum mati?" Hanya pertanyaan itu yang terpikir, karena rasanya benar-benar sakit. Tidak akan ada yang sanggup menahannya.

Entah kenapa, di tengah rasa sakit itu Rakana melihat ibunya ada di hadapannya, terbang mengenakan baju putih dari atas sampai bawah, senyumnya begitu lebar, mengisyaratkan sesuatu yang Rakana tidak tau. Di tengah anak panti yang mengerumuni Rakana, tubuhnya juga mendadak tenang, seperti berlahan kehilangan jiwa.

Suster Raina yang ada di sana tampak syok, ikut berjongkok di samping tubuh Rakana dan coba memeriksa keadaannya. Ia menekan nadi Rakana yang di pergelangan tangannya, lalu memeriks napasnya lewat hidung.

"Kamu bisa denger aku kan? Apa ada rasa sakit?" tanya suster Raina sangat takut. Namun, benar saja tidak ada jawaban, keadaan Rakana berada diambang kematian.

"Plis, kamu bertahan. Kamu jangan nyerah, ada banyak yang bakal kehilangan kamu, percaya aku Rakana." Raina berdiri, menelpon seseorang yang tidak lain ayahnya. Ia menyuruh beliau untuk langsung menyiapkan ruangan untuk Rakana, sedangkan satpam yang sudah sering melihat kejadian gawat darurat seperti ini menyalahkan mobil dan mengakat tubuh Rakana yang dibantu oleh anak-anak panti.

***
Sampai di rumah sakit Rakana langsung dibawa ke ICU, karena keadaannya sudah benar-benar parah. Tadi di mobil Rakana juga sempat kejang, lalu matanya tertutup rapat.

Dokter Rendra yang tidak mengira kanker yang Rakana alami akan sedikit berbeda gejala, tidak menunggu lumpuh dulu baru menyebar ke tahap serius, tetapi kanker Rakana benar-benar mengalami yang namanya menyerah sesuai keinginan empunya.

Tak kuasa Dokter Rendra terisak, sesaat setelah berhasil melakukan pertolongan pertama. Harapan sekarang untuk Rakana benar-benar kecil, mengingat kanker bukan penyakit yang bisa dianggap sepele, apalagi kalau pasien sudah sampai jatuh ke tahap koma.

Alat penunjang kehidupan yang sepertinya selama ini cukup Rakana takuti, terpasang lengkap di tubuhnya. Tidak terkecuali ventilator yang dimasukkan lewat mulut sampai tenggorokan.

"Itu alat-alat benerin bantu pasien kan? Bukan buat mereka tersiksa?"

Kira-kira seperti itulah pertanyaan yang ke luar dari mulut Rakana, sampai seorang anak panti yang berjuang satu bulan karena koma Rakana lepaskan, katanya ia bisa merasakan bagaimana jiwanya menangis karena tertahan, ditambah dengan alat yang sepertinya hanya memaksa agar raganya tetap terlihat hidup.

Tidak lama dokter yang ditunggu akhirnya sampai, Rendra sudah tidak tahan melihat kondisi Rakana, orang yang cukup banyak berhubungan dengannya dan sudah ia anggap salah satu kelurga, makannya ia tidak sanggup melihat sakitnya Rakana, memberikan tugasnya kepada dokter lain.

Belum sempat kaki Rendra melangkah ke luar, tangan Rakana tiba-tiba memegangnya erat, membuat Rendra langsung menunduk dan menangis tanpa malu dihadapan tenaga kesehatan lain.

Merekapun yang ada di sana sudah paham hubungan dua orang itu. Makannya salah satu perawat langsung mengambil tindakan saat melihat ada pergerakan dari tangan pasien.

Rendra yang pada akhirnya memberanikan diri melihat Rakana menghela napas pasrah. Ia masi ingat betul pesan Rakana waktu itu, maka mau tidak mau Rendra harus memberi tahu semua orang.

"Anak ini pernah meminta satu hal kepada saya," ucap Rendra tidak sanggup, akan tetapi mereka dengan cepat melontarkan pertanyaan 'apa?'

Beberapa kali hembusan napas Rendra akhirnya berkata dengan nada bergetar, "yaitu__"

Tiiit ....













Hay apa yang terjadi dan apa yang mau disampaikan? Apa Rakana benar-benar menyerah? nantikan part terakhirnya hanya di lapak ini☺

Ravines and Wounds (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang