Epilog

2K 121 52
                                    

~Jungkook pov~

Semilir angin yang menerpa tubuhku. Nyanyian burung liar yang memekak telingaku. Halusnya ilalang yang menggelitik kulitku. Hangatnya hatiku kala sejenak niat ini berangsur kugapai.

Kakiku yang penuh dengan tenaga perlahan menjauh. Dari kebisingan suara manusia yang dua bulan ini mengisi hari-hariku. Dibalik rumah lamaku ini, orang-orang mempercayai bahwa aku tengah bersemayam disana. Sejak dua tahun yang lalu.

Keadaan berbalik, saat diriku merasa harus pulang ke tanah air. Aku telah terbebas dari jeratan penyakit yang membuat hidupku semakin mengerti betapa pentingnya hidup. Kanker yang bersemayam dalam diriku menjadi teman hidupku dalam menggali hikmah dari kejadian memilukan yang aku alami.

Setelah aku sadar, temanku kembali hilang. Aku bersyukur kehilangan dia. Dia tidak boleh terus ada dalam diriku karena aku masih memiliki asa untuk hidup bersama orang-orang tercinta. Walau satu tahun lebih telah menemaniku, kanker darah yang mengerikan berhasil menghilang.

Srek

Srek

Langkahku memelan. Gundukan tanah yang terlihat dari arahku nampak berjejer rapi. Tak banyak yang terawat, tapi masih dapat terlihat. Beberapa yang masih nampak menggunung adalah penghuni baru. Pun dengan salah satu gundukan yang terletak diujung sana.

Mataku memincing kala melihat seseorang tengah terduduk didepan makam tujuanku. Pria bermantel hitam itu meringkuk, membawa sekeranjang bunga warna warna dan satu bunga lili.

Sebutir air mataku tak sengaja jatuh, itu bunga kesukaanku. Orang itu sangat mengerti tentang diriku. Aku pun mengerti siapa dia.

Hatiku bergetar lirih, hembus-hembus rindu kian menjarah. Titik-titik air hujan pun mulai menerpa, tubuhku yang hanya terdiam menyaksikan pemandangan yang tak jauh dari mataku.

Aku melihat ia bangkit. Tubuhnya loyo dibawah air hujan yang semakin rapat. Langit menggelap berhasil mengaburkan pandanganku. Benarkah dia orang itu?

Hingga satu wajah itu bangkit dari tundukannya. Perlahan retinaku mulai berfungsi. Walau air hujan memandikan tubuhku sampai aku menggigil, aku tak peduli. Orang di ujung sana, bukanlah orang yang asing. Dia seseorang yang berjasa dalam hidupku. Orang yang selama ini aku rindukan dan aku nantikan kedatangannya. Namanya yang selalu ada dalam setiap doaku.

"Ayah..."

Kedua mataku tiba-tiba memanas. Banyak genangan yang aku rasakan disana. Aku menangis. Kini manik itu menatapku. Tidak, hatiku sakit melihat mata sendu itu nampak berkaca. Berdiri tak jauh dari tubuhku yang mematung, aku tahu tubuhnya pun bergetar karena isak tangis. Begitu kacau dimataku. Kini orang yang paling aku sayangi ada didepan mataku sendiri dan terlihat sangat rapuh.

"Ayah..."

"Jungkook..."

Ayahku memanggilku. Aku bisa mendengar suaranya walau jarak kita berjauhan.

Ayah yang aku nanti-nantikan perlahan berjalan pelan kearahku. Dia semakin dekat tak peduli lagi dengan dinginnya angin dan hujan. Aku semakin rapat memanggil namanya. Aku ingin dia segera datang dan memeluk tubuhku erat.

Hingga tak ada jarak diantara kita, dia menatapku dalam. Banyak air matanya yang mengalir bercampur dengan air hujan. Aku pun sama, merasa sakit hingga aku tak dapat membendung air mata dan isak tangisku.

Perlahan tangan kanan ayah menggapai pipi kiriku. Untuk yang pertama kalinya sejak dua tahun yang lalu, tangan ini, kulit lembut ini kembali membelai pipiku. Aku merasakan hangatnya telapak ayah. Aku merindukan ini.

"Jungkook-ie... Hiks... Ini benar kau, nak?"

Hatiku sakit sekali, ayahku bahkan sangat mempercayai jika aku telah tiada. Aku merasa sangat bersalah, membohongi ayahku sendiri hingga bertahun-tahun lamanya. Aku bahkan melihat wajah ayahku tak sesegar dulu. Ayahku semakin kurus, pipinya tirus, rambutnya beruban dan dibiarkan memanjang, serta kantung matanya mencekung dan sayu. Apa yang telah terjadi pada ayah selama aku di Singapura? Aku tak dapat membayangkan.

Gwenchana, Hyungnim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang