Di depan meja kecil, Seokjin duduk bersila menghadap sebuah kue tart cokelat. Diatasnya ada dua buah lilin berbentuk angka 15. Sementara disampingnya ada sebuah box berbungkus samak kado disertai sebuah notes kecil. Kotak yang tak terlalu besar, namun sungguh rapi Seokjin mengemasnya.
Tatapannya tertuju pada jarum jam di dinding. Menanti jarum berwarna merah untuk sampai di puncak angka dua belas.
Setelah tepat di angka dua belas, Seokjin menyalakan lilin, berdoa seraya memejamkan mata lalu meniupnya. Ia tersenyum bahagia kala lilin yang ia tiup padam seketika.
Tak ingin menyia-nyiakan waktu, Seokjin segera membelah kue dengan ukuran yang kecil karena memang kue yang ia beli berukuran mini. Dia tidak begitu banyak memiliki uang karena esok hari ia akan membawa tabungannya untuk bekal hidup di kota.
Potongan kue sudah ia dapatkan, ia segera melahapnya tanpa teman. Malam sunyi seperti ini, tak ada tetangganya yang masih terjaga. Dia hanya merayakan hari ulang tahun adiknya seorang diri.
Setelah semuanya selesai, Seokjin membereskan kue dan kado. Ia mulai mengemasi barang-barangnya ke dalam koper besar miliknya. Tidak banyak yang ia bawa, hanya beberapa potong pakaian kerja, pakaian santai, dan barang-barang miliknya dan milik adiknya. Sebuah mobil-mobilan kecil berwarna kuning dan beberapa kado pemberiannya untuk sang adik dari dua belas tahun yang lalu yang sampai sekarang belum pernah ia buka.
Disaat ia sibuk mengemasi barangnya, figura kecil menjadi perhatian. Ada fotonya bersama Jungkook sang adik saat mereka masih kecil.
Ia raih figura itu, ia usap kacanya lalu tersenyum. Dalam hatinya berdesir rindu, kala netranya memandang mata bambi milik adiknya. Sudah cukup lama ia tak bertemu, cukup lama pula ia memendam rasa rindu. Dua belas tahun berlalu, Seokjin masih mengingat dengan jelas setiap lekuk wajah adiknya. Senyuman yang selalu Jungkook layangkan padanya dan pula tangisannya jika merengek, Seokjin masih mengingatnya dan tertanam apik di liang pikirannya.
"Hyung rindu, dik. Sudah dua belas tahun hyung menunggumu pulang. Kini waktunya hyung pamit, hyung akan pergi ke kota dan mengubur kenangan di Gangwon." Ucapnya seraya menitikkan air mata hingga menetes ke kaca figura.
********
Titik-titik air hujan mengguyur sore ini. Pepohonan yang rimbun diberi kesempatan untuk mandi. Kucurannya mengenai butiran-butiran tanah hingga merembes kedalam bumi. Menyuburkan tumbuhan yang berdiri disepanjang jalan ini.
Sesosok anak remaja berblazer abu berjalan kearah halte. Dengan santai, bak tak terusik oleh rintikan air hujan yang kian merapat. Kacamata yang ia kenakan berembun, dengan sigap ia meraih tissu didalam saku dan mengelapnya setelah ia sampai dan menunggu seseorang.
Netranya menajam kala sebuah mobil putih yang nampak basah datang dan berhenti dihadapannya. Seseorang dari dalam keluar dengan merentangkan payung transparan.
"Mian, membiarkanmu menunggu. Kajja kita pulang." Ucapnya. Mata remaja itu membesar, mengernyit heran dan hanya ikut berjalan beriringan menuju mobil.
"Kenapa ayah yang menjemputku?" Tanyanya sesaat setelah mobil melaju membelah hujan. Remaja itu paham, ayahnya sangat sibuk. Bahkan selama dirinya bersekolah, bisa dihitung berapa kali ayahnya mengantarnya.
Namja yang dipanggil ayah itu tersenyum seraya mengemudikan mobil dengan santai.
"Ayah juga ingin menjemputmu. Memangnya tidak boleh?" Tanyanya sedikit merajuk namun hanya main-main saja. Sang ayah tak pernah bermuka masam dihadapan putra tunggalnya.
"Boleh saja." Jawab sang putra datar.
Mobil pun berhenti di halaman sebuah rumah berpenampilan megah. Tapi sang ayah tak memperbolehkan anaknya turun, ia disuruh menunggu di dalam mobil.
KAMU SEDANG MEMBACA
Gwenchana, Hyungnim
FanfictionJeon Seokjin dan Jeon Jungkook harus berpisah dengan kedua orang tuanya dalam insiden kebakaran rumah. Kejadian tragis yang menimpa keluarganya membuat dirinya harus hidup dalam sebuah panti asuhan. Alih-alih ingin selalu bersama dengan Jungkook, Se...