18 [Perih]

1K 110 17
                                    

Seorang anak remaja terbangun di sebuah ruangan yang sangat gelap. Ia merasakan tubuhnya lemas dan sakit dibagian belakang. Saat ia hendak bangkit, rasa perih langsung menyambutnya hingga ia tersentak dan mengerang.

Ia menangis, nasibnya akan selamanya seperti ini. Apalagi jika tanpa Namjoon, rumah serasa neraka baginya.

"Hiks... Ayah... Bawa aku pergi dari sini... Hiks..." Ucapnya dalam tangisan. Dirinya sudah tidak tahan lagi. Sudah sejak ia kecil semua yang ia terima dari ibunya hanyalah rasa sakit. Baik sakit fisik maupun psikis. Jungkook seolah tak diberi kesempatan untuk hidup bahagia bersama keluarga. Hanya Namjoon lah orang yang sangat menyayanginya tetapi tak ada gunanya jika orang itu selalu sibuk dan tidak pernah ada disampingnya saat dirinya terluka.

Hanya menangis ditempat gelap dan kotor seperti ini tidak dapat merubah keadaan. Jungkook memutuskan untuk bangkit meski rasa sakit selalu mengiringi gerakannya. Ia menahan tubuhnya dengan cara nenumpu tangannya disebuah benda yang ia raih disampingnya. Perlahan ia mulai menaikkan tubuhnya yang bergetar hebat karena rasa sakit yang teramat. Terasa sangat sakit ketika darah mulai keluar lagi dari bekas cambukan ibunya.

"Awh... Hiks... Sakiiitt..." Ringisnya saat ia tak sanggup lagi untuk berdiri. Dia ambruk, berlutut didepan sebuah kursi yang menjadi tumpuannya.

Ditempat gelap seperti ini, dia tidak bisa mempergunakan retina matanya. Tak ada cahaya atau sekedar celah dari ventilasi. Semuanya gelap dan pengap. Jungkook tahu tempat apa ini. Ini adalah gudang yang biasa digunakan ibunya untuk mengurung dirinya sejak sepuluh tahun yang lalu.

Jungkook merasakan hidupnya sungguh hina. Di aniaya oleh ibunya sendiri, sangat tidak masuk akal. Tanpa tahu apa alasannya, Jungkook bahkan tidak merasa melakukan kesalahan sebelumnya. Bisa dikatakan Jungkook mengira Irene melakukannya tanpa alasan. Atau ibunya itu memang sangat membenci dirinya hingga selalu menyakitinya?

Jungkook tak ingin berlama-lama disini. Dia kembali berjuang untuk keluar dari ruang gelap ini. Kakinya kembali ia kuatkan, tangannya menumpu pada kursi besi tadi. Tubuhnya semakin gemetar dan keringat dingin mulai membanjiri seluruh kulitnya. Perlahan namun pasti, ia mulai bisa berdiri. Hingga kakinya sudah bisa menyangga tubuhnya dan juga rasa sakitnya, Jungkook melangkah satu langkah dengan merembet didinding.

Beberapa langkah sudah ia ciptakan, tentu dengan erangan dan ringisan disetiap langkahnya. Ia pun sampai dipintu keluar. Tangannya mencoba memutar kenop pintunya, beruntung tidak terkunci. Dengan susah payah Jungkook mulai membuka pintu dan keluar dari sana.

Langkahnya tertatih menuruni anak tangga. Jumlahnya sangat banyak, membuatnya semakin merasa kesakitan. Tidak ia temukan orang-orang dirumah ini, apakah hari sudah sangat malam?

Pijakan terakhir ia ciptakan, dibarengi dengan tatapan matanya yang tertuju pada sebuah jam dinding. Sudah pukul dua belas malam, pantas saja semua ruangan telah gelap.

Akhirnya Jungkook pun sampai di kamarnya. Ia melepas kacamatanya dan dengan perlahan langsung membaringkan tubuhnya di ranjang dalam posisi menelungkup. Akan sangat menyakitkan jika ia memutuskan untuk terlentang atau menyamping. Punggung dan pantatnya perih dan lecet.

Rasa sakit itu semakin menjalar, setelah ia berhasil berjalan hingga ke kamar. Tak ia sangka, sakitnya merasuk hingga tulang punggungnya. Ia merasa seluruh tulangnya remuk, bisa dipastikan besok ia tak akan bisa menggerakkan tubuhnya lagi.

********

Jimin mendengus kesal kala bangku disampingnya tak kunjung diduduki. Bahkan sampai bel berbunyi, Jungkook temannya belum juga datang.

"Jungkook berangkat tidak, sih?" tanyanya pada dirinya sendiri. Ada rasa khawatir di hatinya. Teman barunya belum juga sampai, padahal dialah yang selalu datang lebih awal.

Gwenchana, Hyungnim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang