34 [Pengejaran]

933 97 10
                                    

Jungkook menggeliat dalam tidurnya. Dia terkejut saat ia membuka mata, semua nampak gelap. Tak ada yang dapat ia lihat, tak ada secercah cahaya pun yang ia tangkap.

"Ayah... Hiks... Ayah... Gelap... Hiks... Ayah aku takut... Hiks... Ayah mataku kenapa... Hiks..."

Jungkook menjerit ketakutan. Dia meraba sekeliling mencoba mencari ayahnya sembari menangis. Namun tak ada tubuh Namjoon disana. Semuanya kosong, hanya ada rasa lembut dari bantal, selimut dan sprei tidur.

Hingga satu suara seorang namja mengagetkannya. Dia nampak berlari kearah Jungkook yang sudah menangis kencang.

"Jungkook... Sayang..." Ucapnya dari luar sana. Seketika secercah cahaya kuning berjalan tergesa-gesa kearah Jungkook, membuat tangisnya mereda dengan cepat.

"Jungkook kau tidak apa-apa?" Tanya Namjoon mendekat yang ternyata adalah orang yang membawa sebatang korek api gas yang menyala.

Jungkook menatap wajah Namjoon, ia segera memeluk tubuh ayahnya hingga Namjoon sedikit terhentak. Ternyata bukan karena ada masalah dengan matanya, hanya ruangannya saja yang tak memiliki lampu.

"Hiks... Ayah jangan pergi... Hiks... Jangan tinggalkan Jungkook sendiri... Hiks... Jungkook takut gelap..." Pintanya dalam dekapan sang ayah. Namjoon pun manggut-manggut masih memasrahkan tubuhnya dipeluk Jungkook dengan tangan kiri yang menekan bantalan korek gas.

"Ne, sayang. Ayah akan terus disini... Ayah hanya keluar sebentar meminta pelita karena minyaknya habis. Tapi ternyata mereka juga tidak mempunyai stok lebih. Jadi dokter Tan yang sedang mencarinya ke warung, semoga saja ada." Ucap Namjoon menenangkan. Tangis Jungkook pun mulai reda, dia melepas tangannya dan menjauh dari Namjoon. Wajah Jungkook dibawah cahaya kecil kuning itu nampak lucu, matanya bengkak dan hidungnya memerah besar. Namjoon pun tak dapat menahan tawanya.

"Sayang, kau lucu sekali." Ucap Namjoon sambil memetot hidung besar anaknya yang memerah. Jungkook mendengus, ia melepas tangan Namjoon yang seenaknya bertengger di hidungnya.

"Ayah..." Rajuknya. Namjoon hanya terkekeh.

Jungkook tiba-tiba menyadari, ruangan yang ia tempati ini bukanlah kamarnya. "Ayah, kita dimana?"

Namjoon sedikit gugup. Apa yang harus ia katakan padanya. "Ehm kita sedang menginap di tempat dokter Tan."

Jungkook mengedarkan pandangannya. Rumah ini nampak tua, tidak ada lampu juga disini. Ini pasti bukan rumah dokter Tan. Rumah dokter Tan itu sangat luas dan tentunya tak gelap seperti ini. "Tapi ini bukan rumah dokter Tan, ayah."

Namjoon semakin gugup. Dengan suara gemetar Namjoon pun mengatakan, "Ne, ini tempat praktek dokter Tan saat dulu kuliah."

Jungkook mengerutkan dahinya. Namun ia tak akan membesar-besarkan masalah ini. Kemana pun ia berada, dimanapun ia pergi, Jungkook akan menurut asalkan ia tetap disamping Namjoon.

Namjoon menatap wajah Jungkook tak terasa anaknya sudah sebesar ini. Namjoon hampir tak bisa percaya anaknya telah dewasa. Anaknya menjadi remaja yang menggemaskan dan selalu membuatnya bahagia.

Namjoon menjadi semakin tak rela dirinya akan berpisah dengan Jungkook sebentar lagi. Cepat atau lambat, entah dirinya atau Jungkook, semuanya akan meninggalkan satu sama lain. Entah Namjoon dahulu, ataukah justru Jungkook lebih dulu darinya. Namjoon tak tahu, dan dia harap tak akan ada perpisahan diantara mereka walau nyatanya tak mungkin. Polisi telah mencarinya, Jungkook telah divonis tak akan bisa berumur panjang. Semuanya sudah nampak jelas, apanya yang ingin diharapkan Namjoon jika sudah seperti itu.

"Jungkook-ie jangan pernah tinggalkan ayah ya, nak..." Ucapnya tiba-tiba dengan suara yang bergetar. Jungkook meredakan rajukannya, dia menatap Namjoon yang mulai mengalirkan air mata dari kedua manik sendunya.

Gwenchana, Hyungnim Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang