Resentment

5.8K 701 18
                                    

Begitu pintu rumah Tante Pinkan terbuka, aku langsung menghambur pada sosok yang berdiri di depanku. Melihatku menangis seperti ini tentu membuat Tante Pinkan bertanya-tanya dalam hati dan juga khawatir. Aku terus menangis dalam pelukannya tanpa bicara apa-apa, Tante menepuk-nepuk punggungku halus. Gerakannya konstan. Setelah sedikit merasa tenang akhirnya kami pergi ke kamar yang dulu pernah aku tempati. Di sana aku menceritakan semuanya, duduk perkara dan alasan mengapa seorang Hanindya sampai jadi secengeng ini. Awalnya Tante sempat shock ketika tahu bahwa keponakannya menyukai seorang duda. Duda anak satu. Tapi ia diam dan tidak memberi berondongan dulu saat aku masih termehek-mehek tidak jelas seperti ini. Ternyata patah hati itu nggak ada enak-enaknya. Ini jauh lebih sakit daripada kejadian saat akan ditinggal Vino ke Jepang setahunan yang lalu. Mungkin juga karena aku tertalu banyak berharap, ekspektasiku memang tinggi, sementara semua ini adalah keputusan Tuhan Yang Maha Mengetahui. Aku ingin percaya bahwa ini semua jalan yang terbaik dari-Nya meskipun rasanya luar biasa sakit.

Sakit dan tersiksa.

Setengah jam lebih telah berlalu, aksi nangis-nangis akhirnya terhentikan. Setelah menceritakan semuanya pada Tante Pinkan, sesak di dadaku jadi agak berkurang. Walau Tante akhirnya tidak tahan dan tetap mengomeliku setelah aku jauh lebih tenang dan hanya meninggalkan sesenggukan.

"Lagian bujang masih banyak, kok sukanya sama duda sih! Satu anak lagi?!" kebiasaan, Tante Pinkan sering menghakimiku begini. "Kamu mikir apa pas naksir dia? Nggak mikir sama sekali ya?"

Meski hatiku sakit tapi mulutku tidak bisa untuk tetap diam, aku menjawab omelan Tante dengan lebih sadis. "Apa salahnya sih? Kan, artis aja ada yang sama duda dua anak, Tan!" kalaupun harus aku sebutkan satu-satu, aku ingat siapa nama-namanya. "Terus mana ada orang suka pakai mikir segala, suka kan suka aja," belaku lagi.

"Salah dong. Kamu itu masih muda, Sayang." Tante mengelus rambut kepalaku pelan sambil menahan rasa geregetannya "Masa depanmu masih panjang, cari yang baik dan sayang sama kamu, kalau bisa yang mapan sekalian, tapi agak-agak susah sih. Manusia nggak ada yang sempurna."

"Iya, Kalky itu paket komplit banget, Tan... tapi kekurangannya ya itu, dia duda." Kataku keukeuh. Sudah patah hati, masih saja membela Kalky, rasa suka memang sulit dilupakan.

"Dan sudah ada calon!" Tante ikutan ngotot, ucapannya membuat aku menangis lagi. "Sudah, sudah... masih banyak cowok dewasa dan mapan yang single kok! Kamunya saja yang sibuk kerja dan ngiter-ngiter di situ-situ terus, makanya lain kali jalan keluar kek yang jauh! Dan siapa tahu kamu ketemu jodoh di sana." Tante menatapku cemas, "tapi jangan duda kenapa, Nin?"

Aku mengingat-ingat sesuatu, kemarin aku pergi ke Puncak, termasuk jauh juga kan? "Udah coba, Tan... memang hatiku sudah mentoknya ke Kalky!"

"Tante nggak nyangka kamu secemen ini soal cinta, Nin." Tante tak tahan untuk tidak mengejekku. "Oh ya, kata mamamu kemarin kamu pergi ke Puncak ya? Ketemu banyak orang dong selain duda itu! Duniamu itu luas, Nin, jangan muter-muter ke dia terus..." Tante terus menasihati—memberondongku—habis-habisan. "Kalo nggak di sini, kamu kan bisa tuh cari kenalan di Bandung. Tempat nyari cowok bukan Jakarta dan Puncak aja, Sayang!"

Tiba-tiba tebersit satu nama dalam kepalaku, laki-laki yang sering membuatku kesal. "Ada kok selain dia," jawabku pelan. Sebab tak yakin nama Harris bisa kusebut di depan wajah Tante yang sedang serius, dia bakal shock kalau idola mudanya sering menjadi teman makan siangku dan berkesampatan menjadi gebetan baruku nanti.

"Sekarang lagi dekat sama siapa coba? Paling juga kerjaan atau klien yang om-om itu? Orang-orang kantormu nggak pernah Tante hitung ya, soalnya dulu Vino juga dekat tapi cuma teman aja ternyata!" Tante mendesah. "Kamu memang cemen deh kalau soal cinta! Sama Vino saja kamu bisa ketipu."

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang