Revealed

5.7K 718 8
                                    

Mendengar pintu kamarku di ketuk aku terlonjak kaget. Siapa? Aku meraih ponsel untuk melihat jam, tapi malah mendapat masalah baru: dua panggilan masuk dari Harris. Satu pesan darinya segera kubuka.

Harris : Hanin, saya pesan makan siang, kamu masih tidur?

Terkirim setengah jam yang lalu, sekarang pukul satu siang. Aku melangkah menuruni kasur dengan malas. Kalau tidak ada Harris aku masih bisa berbaring manja sampai dua jam ke depan, mungkin.

"Ya?" tanyaku ketika pintu sudah dibuka, aku mengucek mata dan menyibak rambut ke belakang.

Dia menatapku penuh selidik. "Kamu masih pusing?"

"Nggak terlalu sih. Mending." Jawabku malas. Aku merapikan rambut dan menggulungnya sembarang.

Harris tersenyum menatap tanganku memainkan rambut yang nakal dan tak mau ikut dikuncir. "Mau makan dulu? Atau shalat?"

"Eh, saya belum mandi. Saya masuk lagi saja." Tanpa permisi aku menutup pintu kamar dan menguncinya, rasanya ingin menjerit sekencang-kencangnya. Kenapa ya aku harus bertemu makhluk seperti Harris? Tiara saja sudah cukup membuat aku lelah dengan semua repetan dan curhatannya tentang Nick. Sekarang malah ditambah sepupunya yang betah berlama-lama di apartemen ini. Sungguh sebuah ujian yang luar biasa.

Aku masuk ke kamar mandi dan menjerit sebentar di sana. Semoga tidak ada yang mendengar jeritanku.

oOo

"Kamu mau balik jam berapa? Nggak ada yang nyariin?" tanyaku sambil mencocol ayam ke kecap, Harris juga baru makan. Kulihat wajahnya masih segar dengan bekas air wudhunya. Jadi nambah ganteng!

"Sore. Sama kayak kalau pulang kerja." Dia memasukkan potongan ayam ke mulut, mengunyah pelan sampai mulutnya kosong ia bersuara lagi. "Saya sudah besar, siapa yang nyari?" katanya sambil menatapku, sebelah alisnya terangkat tinggi-tinggi.

Hening. Aku tidak menjawab. Kami sama-sama sibuk menghabiskan makan siang yang agak terlambat ini, dan seperti biasa aku selesai lebih dulu. Saat sakit pun aku masih punya tenaga yang sama untuk mengunyah makanan lebih cepat. Bersyukur sekali hal ini tak mengganggu sistem pencernaanku.

Setengah jam berlalu. Harris fokus dengan pekerjaannya, kadang ponsel berdering, ia mendapat panggilan dari kantornya dan berbicara dengan serius, tentu tidak di depanku. Saat menerima telepon dia berjalan ke dekat jendela atau menuju dapur sekalian mengambil air dari dispenser. Sementara itu aku sibuk mengganti channel TV, tidak tahu mau menonton apa, sebab yang menjadi pusat perhatianku saat ini adalah Harris, remote di TV hanya alibi semata. Harris kembali duduk bekerja, anteng sekali laki-laki itu.

Tante Pinkan benar, dilihat dari arah manapun orang ganteng akan tetap ganteng. Harris dan Tiara nampaknya sempurna sekali, anak-anak mereka pasti akan mewarisi garis wajah mereka yang sungguh menarik perhatian dan bikin iri.

Ting! Notivikasi pesan masuk datang ke ponselku. Aku meraihnya dan segera membuka.

Temi : Nin, lo sakit ya? Di apartemen?

Jangan! Jangan datang ke sini!

Hanindya : Sehat. Lagi keluar.

Aku terpaksa berbohong. Bisa gawat kalau Temi sampai datang ke sini, sebenarnya tidak ada masalah kalau mereka terpaksa harus bertemu. Tapi rasanya aneh saja kalau Temi sampai melihat aku sedang berdua-duaan begini dengan seorang laki-laki—walaupun pada kenyataannya kami tidak melakukan apa-apa. Kuamati lagi kegitan Harris, ia masih setia menatap laptopnya, wajahnya terlihat sangat serius. Bagus, laki-laki itu memang baiknya sibuk bekerja supaya tidak menggangguku tidur, bukan?

oOo

Entah pukul berapa lagi sekarang, aku merasa ada yang menepuk lenganku dengan pelan. Aku mengerjap-ngerjapkan mata. Lampu ruangan sudah menyala, meyilaukan mata.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang