Almamater

8.3K 900 16
                                    

"Kerja woi, nge-game terus!" aku membentak Temi ketika tahu apa yang sedang ia lakukan di meja kerjanya. Lalu melempar tas warna hitamku ke kursi dan bersandar di meja Temi dengan meliriknya sinis. "Kehidupan lo ngebosenin banget ya, Tem. Kalau nggak ngoding, komputeran, terus nge-game." Kulipat tangan di depan dada, mulai mengoceh lagi. "Kalau lo kebanyakan game gini kapan dapat ceweknya coba?"

"Pagi-pagi kebanyakan energi ya, Bu?" Temi menjawab tanpa menoleh.

"Yah... namanya juga gue, sepet kalau nggak ngoceh." Balasku cepat, kulirik jam di pergelangan tangan. Jam masuk masih lima belas menitan lagi, kantor juga masih lumayan sepi, ada waktu untuk ngobrol sebentar sebelum menuju pantri untuk menyeduh kopi instan satu set-an. "Hei," aku menyenggol lengan Temi. "Lo denger kan yang gue bilang? Kapan lo dapat ceweknya kalau sibuk sama komputer terus?"

Temi hanya nyengir kuda, mengedipkan mata seperti bocah ABG cari muka ke kakak kelas. "Ada elo, kan?"

Aku tak menjawab, malas.

"Presentasi lo yang di Kuningan katanya bagus, Nin. Lo ada minum ramuan apa sampai project bisa diputus ke tim kita? Mas Eko seneng banget kayaknya, lo bisa dapat bonus gede dong tahun ini," ocehnya. Entah dia sengaja mengganti topik atau memang ingin membahas ini sejak kemarin.

Aku tersenyum puas atas pujiannya, Temi mengacungkan jempol.

"Ramuan?" aku berpikir, sedikit memutar otak. Tidak ada ramuan khusus, hanya saja ada seseorang yang membuatku semakin semangat untuk bekerja. Mau tidak mau harus aku akui kalau Kalky sedikit banyak sudah menyuntikkan semangat kapadaku—walau dia bukan leader-ku. Ya Tuhan... kapan yah aku sadar kalau laki-laki itu sudah menikah!

"Iya, si Rasya sampai cerita banyak soal lo. Katanya presentasi kemarin perfect, walau lo agak sedikit gugup. Tapi setelah bulenya minta pakai bahasa Indonesia saja lo jadi santai dan lancar. Lo juga aneh sih, si Beni kan sudah bikin slide PPT berbahasa Indonesia baik dan benar, ngapain lo kreatif pakai Inggris segala?"

"Ha ha ha...Oh, yang itu." Aku menggaruk tengguk yang tidak gatal, "jadi gue salah paham pas dengar Mas Eko ngobrol sama klien kita, mereka pakai Inggris. Ya, gue kira mereka mau kita presentasi pakai itu."

Kulihat orang yang sedang kami omongin—Mas Eko—baru saja datang, aku menarik kursiku untuk duduk, tidak melanjutkan percakapan dengan Temi. Kalau dilihat dari tampangnya, sepertinya Mas Eko ingin marah soal semalam, dia menghampiri meja kerjaku dengan langkah seribu. Gawat. Jarang sekali Mas Eko langsung menuju meja anak buahnya setelah keluar lift, kecuali ada hal yang benar-benar ingin dia sampaikan.

"Hanin." Panggilnya pelan.

Syukurlah suaranya masih normal. Sepagi ini aku tidak siap menema omelan.

Aku menoleh pelan, sambil memutar kursi. Kulihat jarak kami semakin dekat dan tampang Mas Eko yang biasanya sedikit berwibawa berubah jadi seram. Jantungku seketika berbedar resah. Takut sekali.

"Ya, Mas?" aku tidak mau membuatnya kesal sepagi ini, jadi aku tersenyum lebar sekali sebelum jarak kami benar-benar hanya sejengkal. "Ada apa?"

"Semalam..." Mas Eko melirik ke arah Temi dan terlihat tidak enak, lalu menatapku lagi. Ekspresinya mendadak berubah, tidak seram namun masih dingin. "Kerjaan sudah beres semua?" dia mengganti topik, adanya Temi telah menyelamatkanku dari amukan Mas Eko.

"Sudah, baru gue kirim subuh tadi." Aku masih tersenyum, manis.

"Oke." Dia balik badan dan menuju ruangannya. Tidak jadi marah-marah, aku akhirnya menang. Yasss!

"Semalam kenapa?" Temi bertanya setelah melihat pintu ruangan Mas Eko tertutup, ia terlihat penasaran.

"Nggak apa-apa. Biasa, kerjaan lah, apa lagi coba?" aku meyakinkan Temi.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang