Hectic

17.8K 1.2K 12
                                    

"Kabiasaan deh!" omelku.

Aku sudah masuk ke dalam mobil Mas Eko dan membanting pintunya kasar. Dadaku lumayan sesak, penuh dengan emosi karena perubahan yang mendadak. "Lho kenapa jadinya ke Kuningan sih, Mas?" tanyaku heran.

"Kliennya minta ketemu di sana, Nin..." Mas Eko terlihat masih sabar dengan pertanyaanku yang itu-itu lagi. Satu jam yang lalu Mas Eko mengabariku bahwa meeting-nya harus pukul 10.00 WIB dan lokasinya di Kuningan, berubah dari rencana awal yang sudah disusun dan disepakati bersama.

"Kan sudah ada janji dari satu pekan lalu, kok jadi seenaknya gini!" protesku sambil membuang pandangan ke sisi jendela. Aku pun mendengus, kenapa harus Kuningan? Banyak gedung perkantoran di kota ini kan. Lagipula kenapa kali ini aku mendapat klien tidak konsisten sekali, katanya ini perusahaan finance yang sudah terkenal.

"Mereka kan target kita, masa kita nggak mau ikutin maunya. Ingat lho, kita sedang berburu." Mas Eko menasehatiku dengan nada yang dipelankan. Dia juga sebenarnya pasti sedang kesal dengan klien yang mendadak merubah lokasi meeting hari ini. Sesuatu yang mendadak mana ada enaknya sih, kecuali mendadak ditraktir pas lagi lapar. "Proyeknya besar, perusahaan ini masuk top ten di asuransinya, Nin. Jangan sampai buat salah pas kamu presentasi nanti. Oke?" Mas Eko menatapku dengan tatapan mengancam sekaligus menyakinkan.

Aku hanya mengangguk tanpa senyum. Hidup kok rasanya pahit gini. Rasanya aku lebih rela gajiku turun sedikit asal pekerjaanku tidak serunyam dan sepusing ini deh. Pindah saja apa ya? Pindah kemana lagi?

Seharusnya aku tidak di sini, seharunya...

"Yang dari Beni sudah kamu susun ulang semua, kan?" Mas Eko mengagetkanku dengan pertanyaannya barusan. "Koreksi, maksudnya," lanjut Mas Eko.

"Sudah, Mas." Aku menjawab malas-malasan—setelah berusaha menahan diri untuk tidak kabur dan lari ke dalam gedung Millennium. Mas Eko sudah menyalakan mesin mobilnya sejak tadi, sekarang ia mulai melajukan roda empat ini di antara puluhan kendaraan lain di ibukota.

"Sorry, Nin. Tapi cuma lo yang bisa hendle dan bantuin gue. Oh ya, nanti ada Egas sama Rasya nyusul langsung ke sana. Jadi biar mereka juga ikutan belajar."

Aku menoleh cepat. "Dan kalau sudah ngerti Mas Eko nggak perlu pakai gue lagi, Mas. Lo ngerusak jadwal gue hari ini tahu nggak!" kataku ketus.

Mas Eko malah tertawa tanpa dosa, suaranya terdengar renyah disaat hatiku agak gondok seperti ini, padahal ini sama sekali tidak lucu bagiku. "Gue jadi inget bini gue, Nin. Dia kalau sudah bikin to do list atau apalah itu, terus kalau gue ganggu atau geser jadwalnya sedikit saja, dia bisa terus ngomel-ngomel kayak lo gini. Seharian!" ucapnya diakhiri cengiran tanpa dosa lagi.

"Makanya, lo harusnya ngertiin gue dong, Mas. Gue juga lagi banyak kerjaan nih." Aku menyandarkan kepalaku ke jok, menatap lurus ke jalanan kota yang alhamdulillah lengang, tak tahu harus bagaimana lagi kalau di jam 09.21 WIB saja jalanan ini masih macet. Bisa-bisa kami kehilangan klien besar.

"Perempuan memang gitu ya? Suka banget nulis-nulis di agenda, di tempel di meja, kulkas, lemari, dan layar komputer bahkan. Gue nggak pernah, tapi semuanya jalan tuh!" Mas Eko mulai cerewet lagi, kayak cewek.

Aku mengangkat bahu, tidak tahu teorinya bagaimana. "Memang beda kali." Dan aku kembali menginggat post it warna-warni di atas meja kerjaku, jadwal ke Ciputra hari ini akan diundur besok atau lusa, serta ada kerjaan lain yang harus aku selesaikan. Aku memijat pelipis, berusaha merilekskan diri dengan mengambil napas dalam-dalam. Tenang, semua akan baik-baik saja meski tidak dikerjakan tepat pada waktunya.

"Lo kenapa?" tanya Mas Eko sambil sedikit menoleh, memecah keheningan kami berdua.

"Nope," balasku datar.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang