Trapped

8.7K 955 11
                                    

Hari ini aku tidak bisa menolak perintah Mas Eko yang saklek! Dia menyuruhku menemaninya meeting dengan klien dari perusahaan asuransi yang sudah tanda tangan kontrak dengan kami waktu itu, yang sedang aku handle juga sekarang. Bukannya Mas Eko tidak tahu jadwalku hari ini—yang masih ada kunjungan ke Ciputra untuk dua perusahaan sekaligus. Dia tahu soal itu dan malah menyarankanku untuk menyuruh orang lain melakukan kunjungan tersebut. Menimpakan pekerjaan pada orang lain? Ha ha ha, lucu, memangnya ada yang mau? Rasanya aku gedeg sekali, tapi tentu saja aku tidak menampakan kedongkolanku pada bapak-bapak terhormat di depanku dengan setelan jas licinnya.

Jadi, semenjak aku dibawa ke meja meeting ini aku sudah malas berbasa-basi dengan klien, langsung ke inti masalah, mempresentasikan ini-itu dan Mas Eko membantuku menjelaskan lebih detail. Lucunya, di tengah-tengah presentasi ini Mas Eko malah minta izin ke kamar mandi.

Aku menatap dua klien di depanku, keduanya sedang asyik berbincang mengenai otomotif, aku tidak tahu sama sekali dan tidak ingin terlibat dalam diskusi mereka yang menurutku tidak menarik.

Aku diam mengamati lalu lalang orang-orang dari balik ruang kaca ini, saat sibuk melamun ponselku bergetar. Sebuah pesan masuk dari sahabatku.

Mutiara : Hello, Nin!

Mutiara : Woiiii...

Aku membelalakkan mata melihat ketidaksabaran Tiara, lalu menatap klien sebelum membalas chat dari Tiara, dua orang itu masih sibuk diskusi tanpa melibatkanku.

Hanindya : Salam kek. Nggak ada sopan-sopannya nih orang Jakarta.

Hanindya : Kenapa, Ra?

Beberapa detik kemudian pesan terbalas dan "Tiara is typing" sudah berganti "online".

Mutiara : Lo lagi dimana?

Hanindya : Kantor lah. Tapi ngantornya di Sate Senayan nih. Sama klien, cakep-cakep.

Mutiara : Jaga mata!

Mutiara : Udah deh sm Mas Harris sj sono. Jangan cari cowok lain. Jangan jg klien yg lagi duduk seberang lo ya, Nin.

Aku mengerutkan kening, sahabatku kenapa sih? Hei, dia bukan dukun sehingga tahu aku dimana.

Hanindya : Kok lo tb2 ngomongin Harris? Ada apa nih?!

Perasaanku jadi tidak enak, tidak menentu. Terakhir kali aku ketemu Harris memangnya ada kesan lain selain tatapan permusuhan ya? Aku tidak macam-macam dengannya, tidak ada pikiran untuk bertemu dengannya lagi. Kupikir semuanya sudah selesai saat hari itu berakhir.

Selang satu menit, Tiara belum menjawab pesanku tapi dia masih online. Aku meletakkan ponsel di atas meja, tak lama benda itu bergetar lagi.

Mutiara : Bahas nanti, gue sibuk kerja.

Hanindya : Sibuk kerja masih bisa chatting-an. Ada apa? Btw, gue nggak ada apa2 sama Harris ya!

Hanindya : Dia bukan tipe gue lah. Arya, gue mau.

Mutiara : Sepupu gue yang nganggur cuma H bukan A!

Hanindya : Nggak. Nggak ada perasaan apa2 gue sama dia.

Mutiara : Kalau dianya yang ada apa2 gmn, Nin?

Ngaco.

Aku memijat pelipis yang mendadak berdenyut-denyut. Kalau Tiara ada di depanku sekarang, sudah pasti aku berondong dengan beribu-ribu pertanyaan, rasanya butuh sekali penjelasan. Pesannya hari ini terasa tidak masuk akal dan sedikit ajaib, karena dia bisa tahu aku sedang dimana dan dengan siapa.

"Bu Hanin tidak apa-apa?" tanya seorang klien dari Setiabudi yang berdarah campuran.

"Ya..." Aku tersenyum, senyum yang sewajarnya tidak seperti saat kali pertama bertemu di tower Mega Kuningan waktu itu.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang