The Trap

9.2K 966 11
                                    

Lebih dari setengah jam aku dan Harris duduk di sini, Tiara masih belum muncul juga. Lelah. Berapa menit lagi? Berapa ratus detik lagi sih ini, Ra...

Aku terus mengeluh dalam hati.

Rambutku yang sudah panjang rasanya membuatku gerah, aku mengibaskannya ke belakang. Tanganku mencari ikat rambut yang sempat kusimpan di dalam tas, biasanya selalu kubawa minimal satu biji. Namun kali ini tidak ada. Aku mencari lagi, masih tidak ketemu sampai Harris melihatku seperti orang sedang kebingungan.

"Nyari apa?" tanya Harris kalem.

Aku masih sibuk mencari sesuatu yang tak kunjung kutemukan, lalu mengibaskan rambutku lagi ke belakang. Rasanya ingin segera aku gulung, riweh. "Jepit rambut saya nggak ada," kataku akhirnya, sambil mengangkat wajah menatap orang di depanku.

Harris terlihat makin heran, ia menaikkan sebelah alisnya.

Aku masih mencoba mencari di pouch kecil warna pink, tidak ada juga. Hilang dimana coba atau tidak kebawa di dalam tas ini?

"Saya antar beli deh, yuk." Harris tiba-tiba saja sudah berdiri. Menatapku dan menunggu.

Kudongakkan kepala, kaget. "Heh, nggak perlu." Aku masih berusaha mencari dengan mengorek bagian lain.

"Nggak apa-apa. Saya antar kamu cari-cari lah." Harris setengah memaksa, dia mengedarkan pandangannya. "Eh, tuh di dekat eskalator turun ada yang jual pernak-pernik perempuan!" katanya antusias.

Aku nyaris tertawa, tapi kutahan kuat-kuat. Dia bilang apa? Pernak-pernik perempuan? Hahaha... perutku sungguh mulas luar biasa!

"Yuk!" ajaknya. Wajahnya terlihat segar dan ceria.

Akhirnya aku mengalah dan mengikuti sarannya dengan mengangguk enteng. Masih menahan tawa.

Dia berjalan lebih dulu, semangat sekali menuju tempat pernak-pernik perempuan yang dia maksud. Aku masih berjalan di belakangnya, kami melewati beberapa restoran siap saji dan dari sebagian pemandangan yang aku tangkap adalah para perempuan yang sedang duduk, jalan, bengong sendiri atau bersama pasangan, menoleh kepada Harris ketika laki-laki itu lewat. Ya, Harris semenarik itu di mata orang lain, dia punya pesonanya sendiri dengan wajah tampan, hidung macung, alis tebal, dan kulit yang kecokelatan seperti anak pendaki gunung. Lumayan kontras dengan warna kulitku dan Tiara.

"Yang ini warna hitamnya ada?" aku sudah memilih satu jenis kunciran rambut dan bertanya pada penjualnya.

"Ada, sebentar dicarikan dulu ya, Kak." Jawab penjual itu, lalu sibuk mencari di kotak lain. Aku melihat Harris sedang menyentuh satu persatu jepit rambut seharga 15.000-an. Membuka dan menutupnya, persis seperti anak kecil yang sedang diajak jalan orangtuanya untuk beli mainan. Lagi-lagi aku ingin tertawa. Di balik tampangnya yang keren ternyata dia punya sisi ini, lucu saja melihatnya.

Dia menoleh, sadar bahwa sejak tadi aku mengamatinya. "Kenapa?"

"Kamu kayak nggak perah punya mainan saja sih!" omelku. Si penjual sampai terkikik melihat tingkah Harris. "Tuh, sampai diketawaain sama mbaknya."

"Ya, soalnya perempuan barang printilannya banyak banget deh. Dan saya nggak ngerti apa bedanya jepit rambut yang ini dan yang ini?" Harris menunjuk jepit rambut yang sama ukurannya namun beda fungsi.

Aku tidak bisa menahan tawa, dia menatapku kaget. Tawaku semakin kencang, tangan kananku kubekapkan ke mulut.

"Sebahagia itu?" tanyanya dengan tampang heran.

Aku menggeleng. Kacau. "Kamu sih banyak mainnya sama semen, pasir, batu bata, reng, dan teman-temannya. Masa jepit rambut saja nggak ngerti fungsinya apa." Aku mengambil satu jepit pipih dan memberikan contoh cara memakainya. "Nih ya, lihat tutorial ala Hanindya baik-baik." Aku menyibak rambut atasku dan menjepit rambut dengan benda tadi. "Ini buat di poni, sayangnya saya nggak ada poni jadi nggak guna kalau saya beli ini," jelasku, lalu aku meletakannya lagi, mengambil jepit yang lain. "Yang ini untuk ikat rambut sebagian aja, bisa di samping kayak gini atau di belakang," jelasku lagi sambil memberikan contoh.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang