Invitation

6.2K 736 18
                                    

Harris tidak langsung pulang, setelah selesai makan dia malah menyalakan TV tanpa permisi, lalu shalat dzuhur. Dan sekarang ia telah berbaring di sofa sambil memejamkan mata. Entah sudah tidur sungguhan lagi atau masih berusaha.

Gimana caraku menggusirnya?

Demi mengalihkan perhatian, aku kembali membaca buku berjudul Happy Little Soul yang menceritakan seorang bocah bernama Kirana dengan ibunya, buku ini kucuri dari tempat Tante Pinkan dulu. Punggungku bersandar di kursi lain, dan menselonjorkan kaki di karpet. Sempat kulirik wajah Harris, dia masih terpejam setelah setengah jam berlalu. Sejak pagi dia tidur tidak ada suara dengkuran, benar-benar tidak berisik sama sekali. Aku lanjut membaca di halaman 191. Aku sempat tersenyum sendiri pada bab ini, membahas tentang pria yang dalam memandang sesuatu berbeda dengan seorang perempuan. Pria tidak andal membaca kode-kode seperti perempuan. Bahwa biasanya, pria itu berpikir dengan 80 persen logikanya, sementara perempuan berpikir 80 persen dengan emosinya. Pada bagian bawah bukunya tertulis hal yang sedikit lucu, aku tertawa pelan.

Harris terbangun, dia memiringkan tubuhnya dan menatapku. "Kamu nggak bosan sendiri di sini?" suaranya terdengar serak, khas orang bangun tidur.

Aku mengeleng, masih ingin fokus pada bacaan. Ganggu saja dia ini.

"Nggak nyari pacar?"

Kini wajahku terangkat dari buku bacaan, menatapnya sinis. "Kan lagi usaha!"

"Usahanya sambil duduk gitu saja?" Harris sudah hidup kembali. Baterainya sudah full. Ia jadi rewel.

Masa iya aku harus bilang kalau tiap sujud nama Kalky selalu kusebut, terus setiap malam aku stalking instagramnya, lalu di kantor aku berusaha curi-curi pandang atau cari-cari perhatian? Ngaco, memangnya dia siapa?

Aku tidak menjawab, menutup buku dan meletakkannya di atas meja. "Harris, kamu sendiri gimana? Kenapa masih di sini, kenapa nggak balik ke rumah atau ke tempat teman dekatmu mungkin?" serangku balik.

Dia diam dengan tampang sedatar meja di depannya. Tangannya manarik buku dari atas meja, membaca judulnya dan sebaris kalimat di bawahnya, keningnya berkerut tipis. "Belajar memahami anak dengan penuh cinta? Kamu baca buku ini?" tanyanya terdengar terheran-heran. "Oh, nggak salah juga sih, suatu saat kamu akan jadi ibu." Dia meletakkan buku itu kembali sambil tersenyum ganjil.

Hening beberapa saat, aku menatap layar TV yang suaranya pelan. Harris masih saja berbaring dan sepertinya enggan pergi meskipun sudah kuserang dengan pertanyaan barusan. Kutarik napas dalam-dalam sebelum berkata lagi. "Btw, Ris... sebenarnya kamu mau sampai kapan yah di sini? Kita cuma berdua lho. Saya takut..." Tidak jadi aku lanjutkan, lebih baik kembali menatap TV yang sedang menyiarkan berita siang—kenapa tiba-tiba aku merasa ada yang salah? Harris terus-terusan menatapku intens sambil tersenyum penuh pesona. Isi kepalaku mulai kacau lagi, aku takut dia tiba-tiba menarikku dalam pelukannya atau malah ingin mecekikku, lalu besok ada berita dengan judul begini "Ditemukan seorang gadis tewas mengenaskan di apartemen milik sepupunya, dan tersangka utamanya adalah cucu dari pendiri Ahsan Group". Bisa tamat kehidupanku dan hancur karirnya!

"Kamu kenapa?" tanya Harris yang mulai bangkit. Kugelengkan kepala pelan, ikut berdiri menjauh. Jangan bilang dia mau mencekikku sekarang. Aku mundur beberapa langkah karena dia berjalan mendekat.

"Saya boleh numpang kamar mandi?"

"I—ya." Balasku terbata.

"Boleh pinjam handuk?" Harris tersenyum seperti anak kecil. "Saya belum mandi dari sore," lanjutnya.

Haaa... apa? Sumpah, belum pernah ada laki-laki yang meminjam handuk pribadiku. Satu-satunya teman atau orang lain yang numpang mandi di sini dan memakai handukku ya cuma Tiara. Aku pun segera berbegas mengambil handuk bersih yang pernah dipinjam Tiara, karena tidak tahan terus-terusan ditatapnya. Aku melempar ke badannya, dia menangkap sambil tertawa pelan.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang