Temi : Lo punya cowok?
Aku masih berpikir apakah akan membalas pesan dari Temi atau tidak. Dia benar-benar salah paham dengan apa yang baru saja terjadi di grup.
Hanindya : Cm tmn.
Singkat dan jelas. Kuharap Temi tak bertanya masalah ini lagi.
Aku belum melihat tanda-tanda kemunculan Harris, laki-laki itu masih jauh dari meja kami. Saat menatap meja, ponselku kembali bergetar karena mendapat pesan baru dari Temi.
Temi : Mau dibawain coklat dingin?
Hanindya : Nggak perlu.
Temi masih online. Dia sedang mengetik.
Temi : Oke J
Temi : Malam nonton yuk?
Hanindya : Capek. Next time sj ya.
Temi : Capek sama anak2 di grup?
Hanindya : Sama lo juga.
Temi : Kok bisa? Why? Salah apa gue, Nin?
Hanindya : Karena lo sama2 laki2 kayak mereka! Sejenis mahkluk yang sama2 menyebalkan!
"Kamu sibuk main HP terus ya, tapi chat saya jarang kamu balas."
Brak! Aku tak sengaja membanting ponsel di atas meja saking terkejutnya, tidak tahu sejak kapan Harris duduk di depanku lagi. "Oh, itu... karena urusan kerja," aku beralasan. Kalian tahu tidak, saat ini jantungku serasa mau putus.
Sebelum Harris buka suara seorang pramusaji datang mengantarkan pesanan kami. Untunglah Harris tidak bertanya dan menyerangku lagi, dia sudah sibuk menikmati makanannya dengan sedikit lebih luwes, terlihat gurat gelisah setelah dia mendapatkan telepon barusan, kalau kuperhatikan kegelisahan itu nyaris sama seperti di apartemenku waktu itu. Apa dia selalu seperti ini setelah menerima telepon yang mengharuskannya menjauh dari orang-orang di sekelilingnya?
Jangan bilang dia sudah punya kekasih dan meninggalkan kekasihnya demi makan dengaku. Tapi, mana mungkin Tiara tidak jujur kalau Harris punya gandengan. Karena tidak mau pusing, aku buru-buru mengenyahkan tuduhanku pada Harris.
Aku sudah selesai makan dengan cepat, lalu pergi ke wastafel untuk mencuci tangan, tapi sambil membawa ponsel dalam saku celana untuk mengecek pesan balasan dari Temi.
Temi : Gue percaya lo bisa lihat gue secara baik2, dan gue nggak sama kayak mereka, Nin.
Keningku berkerut, apa maksudnya? Aku memutuskan untuk tidak membalas pesan Temi itu. Makin kesini, semua laki-laki di dunia ini rasanya semakin sulit dimengerti.
Harris baru selesai makan saat aku kembali ke meja dan duduk dengan santai, dia gantian beranjak menuju wastafel dengan meninggalkan ponsel di mejanya.
Drrrttttt! Drrrttttt! Drrrttttt! Getar di susul dering dari ponsel Harris di atas meja.
Urgent is calling...
Aku tidak berani mengangkatnya. Aku memutar kepala ke belakang, Harris baru saja berjalan kemari. Aku melambaikan tangan dan menunjuk pada ponselnya, dia berjalan agak cepat untuk mendekati meja kami. Ketika sampai ponsel Harris berhenti bergetar, dia menatapku dengan tatapan lembut yang bertolak belakang dari sebelumnya.
"Saya ada urusan, kita pulang sekarang ya." Katanya, suaranya terdengar agak berat.
Aku mengangguk sekaligus bersyukur karena dia tidak mengajakku keluyuran lagi.
Harris sudah masuk ke mobilnya, aku berjalan memutar dan mengetuk kaca di sisi Harris, ia menurunkan kaca mobilnya. "Hmmm... saya pulang sendiri ya, Ris?" tanyaku seraya menyelipkan rambut ke belakang telinga. Di luar udaranya sungguh panas dan gerah.
"Kenapa? Ada janji sama klien di sekitar sini?" Harris tidak melepaskan tatapannya padaku, membuat aku tidak nyaman seketika. "Ayo, masuk!" ajaknya.
Aku menggeleng pelan, sibuk mencari alasan apa yang cocok untuk menghindari dia hari ini. Entah mengapa aku sedang tidak ingin pulang bersamanya ke kantor, apalagi teman-teman di grup sedang rusuh banget. Kalau kami kepergok di lobi, bisa-bisa makin gawat dan aku jadi bahan pergosipan dunia mereka lagi. Harris turun dari mobilnya karena belum mendapat jawaban dariku, sementara ini otakku masih berputar keras memikirkan alasan yang benar-benar tepat dan tidak terbantahkan. Bisa saja aku bohong tapi malas, sudah terlalu banyak dosa!
"Kamu mau menghindari saya lagi?"
"Eh, enggak!" kataku cepat, aku menggeleng walau sebenarnya iya. Tuh, tidak mau bohong tapi malah bohong banget jadinya. "Saya... ada urusan, Harris." Jawabku bohong sekalian.
Rasanya aku jadi manusia paling tidak konsisten seumur hidup, tentu semenjak mengenal laki-laki di depanku ini. Aku terus-terusan berubah menjadi Hanindya yang tidak bisa sekonsisten dulu lagi. Hari ini bilang "enggak" untuk ajakan makan siang dari Harris, tapi saat melihat dia di depanku otakku seolah berhenti menolak, seperti ada sesuatu yang menggelitik yang membuatku merubah keputusan untuk menerima ajakannya walau akhirnya uring-uringan. Aku sungguh tidak sekonsisten dulu lagi ketika melihat Harris yang seperti ini setiap melihatku, tatapan yang entah bagaimana aku menjelaskannya, kadang lembut dan dalam, tidak terbaca, kadang juga tajam dan menyebalkan.
"Saya antar kamu ke sana. Kemana memangnya sih?" suaranya terdengar lembut. Ini bukan Harris yang gosipnya arogan itu. Ini bukan Harris yang ketika di lobi mencak-mencak tidak keruan, dan ngotot minta ampun.
Baru saja aku mau menjawab pertanyaannya dengan kebohongan lain lagi, senang sekali karena kali ini aku terselamatkan oleh panggilan dari si urgent itu. Harris sempat menatapku sekilas sebelum menganggkatnya.
"Ya?" dan seketika dia menghindar dariku. Sudah pasti ada yang dia sembunyikan dariku, entah itu apa.
Aku menunggu sambil besandar di mobilnya yang terparkir di bawah pohon besar, cuaca rupanya mulai berubah dan lebih berangin, jadi aku betah berlama-lama di luar seperti ini. Dari jarak lima meter aku bisa mengamati punggung Harris yang luas, sekarang aku memikirkan banyak hal tentangnya, tentang acara rutin makan siang seperti ini. Teman, ya mungkin kata ini lumayan cocok untuk hubunganku dengan laki-laki itu, walau kedengarannya absurd sekali, karena sejujurnya aku tidak pernah ingin berteman dengannya kalau dia tidak pernah memaksaku seperti ini. Harris sempat menoleh beberapa kali saat aku masih menatapnya dari jauh, aku terang-terangan membalas tatapannya, meminta ia segera kembali dan mengizinkanku pulang sendiri.
"Iya... sebentar lagi, ya." Kata Harris sambil melangkah menuju tempatku berdiri, ia mengakhiri panggilannya tersebut. Ia kembali dengan wajah yang nampak resah dan khawatir. Sebelum dia berkata sesuatu aku berinisiatif untuk melanjutkan percakapan sebelumnya, "kalau kamu ada urusan penting, saya bisa pulang sendiri."
"Hanindya..." Dia menatapku intens.
Aku terkejut karena dia melangkah semakin dekat ke arahku, sementara aku tidak tahu harus lari kemana karena sudah mentok ke pintu mobil hitam di belakangku.
"Harris." Aku menyebut namanya supaya laki-laki ini sadar bahwa semakin dia mendekat maka semakin hilang jarak di antara aku dengannya. Dia masih mencoba untuk maju dan aku nyaris menjerit memanggil namanya, "Ris!"
Dua orang berhadap-hadapan dan sama-sama terkejut, jantungku serasa melorot ke perut.
"Saya pulang duluan ya, thanks untuk lunch-nya." Kataku tanpa diiringi senyum sekecil apapun, dan tanpa menunggu jawaban darinya aku sudah beranjak dari sana dengan mendorong sedikit dada bidangnya agar aku bisa lewat untuk melarikan diri.
Aku berjalan dengan kecepatan tak biasa saat menggunakan sepatu lima senti, semoga tidak sampai keseleo kakiku ini. Tak berani menoleh ataupun menarik napas lepas saat ini, aku takut tiba-tiba ada tangan kekar Harris yang mendadak menarik pergelangan tanganku untuk menghentikan aksi kaburku ini. Tapi setelah berjarak lumayan jauh, sampai aku menemukan sebuah taksi biru, Harris sama sekali tidak ada dalam radarku. Ketika aku masuk ke dalam taksi, aku baru bisa mengembuskan napas dengan sangat-sangat lega.
Segitu susahnya aku terlihat santai di depan Harris. Bagaimana caranya menghindari dia pada hari-hari berikutnya. Aku butuh pertolongan Ya Tuhan...
Ayo Vote, Komen, & Follow aku di Wattpad dan ig @rah.id
Terimakasih banyaaak sudah baca tulisanku di sini. Baca juga di KaryaKarsa, nikmati voucher yang ada. Buruan serbu sebelum habis!
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
RomanceTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...