Meskipun punya banyak uang, namun tidak semua hal yang kita mau bisa kita dapatkan dengan kata "beli", contohnya adalah hati.
...
Tumis sawinya sudah jadi, aku tinggal menggoreng udang saja. Harris sudah aku usir dari dapur karena dia terlalu rewel bertanya ini-itu seperti anak usia sepuluh tahun. Aku tidak sanggup meladeninya terus-terusan, kadang emosiku malah melonjak. Sudah tahu aku sedang datang bulan begini, harusnya paham dong kalau hati perempuan lagi super sensitive banget. Syukurlah dia mengalah dan menuruti perintahku untuk duduk di sofa saja, dia sendiri yang berinisiatif untuk memutar film dari laptopku.
"Password-nya apa?" dia kembali ke dapur lagi untuk bertanya. Aneh, padahal kan tinggal teriak dari living room saja juga bisa. "Eh, boleh nggak sih dibagi password-nya?"
Aku menatap sekilas orang di belakangku. "Sebenarnya enggak. Tapi saya malas jalan ke sana."
"Jadi apa?"
"Hch25+." Aku sedikit berteriak karena mulai menggoreng udang yang sudah dilumuri tepung. Kalau dijawab lembut suaraku jadi teredam.
"Apa?" Harris malah berdiri di sampingku, membuat aku nyaris jantungan. Kenapa jarak kami dekat sekali...
"Masa enggak dengar sih?" balasku sewot.
"Hch. Kepanjangannya apa?"
"Mau tahu banget!" aku kembali melumuri udang dengan telur dan tepung. Bolak-balik seperti itu. Harris masih menunggu di sebelahku. "Jangan kepo deh! Sudah sana ke tengah saja sih!" aku setengah memelototinya, macam ibu-ibu kompleks yang galak.
"Hanindya cinta Harris, bukan?" ucapnya enteng.
Spontan aku menjatuhkan spatula, kami sama-sama mundur untuk menghindari percikan minyak dari spatula itu. Tidak pernah terpikir dalam otakku bahwa kepanjangan password laptop-ku adalah yang Harris ucapkan barusan.
Kurasa dia sudah gila.
"Bukan! Itu nama panjang saya!" Aku setengah berteriak sambil berjalan mengambil spatula yang lain, yang di lantai telah dipungut oleh Harris dan ia meletakkan di atas sink. "Hanindya Chairil Hasan," jelasku jujur.
"Kalau kamu bilang dari tadi, kan, saya nggak salah paham." Harris tersenyum jahil sebelum kembali ke ruang tengah.
Aku ingin mengusirnya setelah dia selesai makan.
...
Bola mataku tidak bergeser satu inci pun dari layar laptop di depanku, walau sudah menonton berkali-kali aku tetap suka. Film ini diangkat berdasarkan kisah nyata kehidupan seorang jenius Matematika asal Inggris, setting-nya di Jerman pada tahun 1939. Berdasarkan hasil pencarianku di wikipedia, cerita ini awalnya ditulis berdasarkan hasil karya Andrew Hodges berjudul "Alan Turing, The Enigma". Kemudian ditulis ulang oleh Graham Moore dalam bentuk naskah film. Diceritakan juga di dalam film ini bahwa Alan cenderung ingin bekerja sendiri, enggan bergaul dengan teman-temannya, dan selalu merasa paling benar. Bahkan Alan juga ditunjuk sebagai ketua dalam tim pemecah kode di Bletchley, ia memiliki kewenangan untuk menentukan rencana kerja dalam timnya tersebut.
Alan Turing, aku sangat menyayangkan akhir hidupnya yang meninggal dengan cara bunuh diri, entah karena konflik batin atau lainnya. Joan Clarke, aku sangat menyukai tokoh itu yang diperankan oleh Keira Knightley, dia baik dan cerdas, satu-satunya perempuan yang ikut dalam tim tersebut, mengingatkan aku pada kehidupan nyataku sebagai fungtional engineer perempuan satu-satunya di tim Wolf.
Film sudah berputar selama dua puluh menit, aku menikmatinya tanpa ada gangguan, Harris sedang sibuk makan dan dia tadi sempat memberi komentar bahwa sayurnya terlalu pedas untuknya, juga udang tepungnya sedikit keasinan. Aku tidak peduli, sudah untung kukasih makan gratis.
"Kamu nggak suka film horror karena parno ya?" suara itu mengintrupsi konsentrasiku.
"Nggak juga." Jawabku tanpa menoleh. Tak ada obrolan lagi setelah itu. Selang beberapa menit kemudian aku mendengar suara kran air menyala, kepalaku menoleh otomatis dan melihat Harris sudah berdiri di dekat wastafel. Aku buru-buru menyusulnya.
"Sisanya ditaruh di atas meja yaa." Kataku kepada Harris yang terlihat bingung membawa piring berisi udang tepung yang tersisa.
"Makasih, saya kenyang," dia tersenyum.
"Kamu langsung balik, kan?"
"Kamu ngusir saya?"
Aku diam, menarik napas dalam-dalam. Dia mau apa lagi sih? Dia malah mencuci piring bekas makannya! Aku menunggunya dengan sabar, tanganku sudah berkacak pinggang. Dia selesai dan menoleh, aku menatapnya sebentar kemudian membuang muka.
"Laki-laki sama perempuan di satu tempat dan nggak ada hubungan apa-apa itu nggak boleh lho..." Aku bicara dengan susunan kata yang berantakan, sebab aku lupa lengkapnya. Intinya guru ngajiku pernah menyampaikan kalau itu nggak boleh, karena bukan mahrom.
"Perempuan kerja di tempat yang mayoritas laki-laki juga nggak boleh, kan?" dia membalasku, tersenyum jahil.
"Iya, deh! Tapi ini sudah malam." Kenapa dia selalu punya jawaban?
"Kamu sudah mau tidur apa masih mau nonton?" Harris mengambil minum, "kalau mau nonton saya temani."
"Tidur." Aku menjawab dengan cepat.
"Benar?" dia mengambil duduk sambil terus mengamatiku. Aku mengangguk pelan. Lalu dia meminum air dalam satu gelas penuh dan aku dapat melihat jakunnya yang turun naik. Aku sudah tidak ingin bicara apa-apa lagi, akhirnya kumatikan laptop dan menutupnya, lalu duduk di sofa dengan tangan terlipat di depan dada.
"Ya sudah, saya balik." Harris meraih jas di sebelahku, saat dia menarik jasnya tercium aroma pelembut dan pewangi pakaiannya yang masih segar, aroma parfum maskulin, tapi juga tercium bau obat, mungkin antibiotik, khas apotek atau rumah sakit.
"Kamu dari mana sih?" tanyaku.
Sebelum menjawab Harris sempat menatapku beberapa detik. "Kantor."
"Nggak dari... rumah sakit gitu?" keningku berkerut.
Harris bergeming di dekat meja. "Nggak, Hanindya." Jawabnya tenang. Tapi aku mencium gelagat aneh, dia pasti berbohong. Harris melangkah ke pintu, aku masih duduk di sofa. Sengaja tidak mengantarnya, memangnya dia orang spesial.
"Besok saya flight ke Penang jam delapan." Harris menginformasikan hal yang tidak kutanyakan sama sekali.
"Apa?" kukira dia sudah keluar, malah balik lagi dan duduk di sofa. "Penang? Buat apa?" tanyaku seraya menoleh.
"Ada urusan, urgent." Suaranya terdengar cemas, kuamati wajahnya baik-baik, ada gurat sedih dan takut di sana. "Nggak lama kok..." katanya lagi, gantung.
"Sebulan juga nggak masalah, nggak ada efeknya juga kan buat saya? Kamu kan bukan bos saya." Aku berkata jujur.
Harris tersenyum kecil, terlihat wajahnya sedikit lelah.
"Kamu... nggak pa-pa?"
Dia menoleh dan menatapku agak lama. "Kamu khawatir sama saya?"
"Eh, enggak! Enak saja, sudah sana pergi." Usirku, aku melangkah menuju pintu dan membukanya lebar-lebar. "Saya sudah ngantuk." Aku pura-pura menguap di depan Harris, dia tertawa pelan.
"Assalamu'alaikum." Harris menutup pintu apartemenku. Setelah pintu tertutup dengan sempurna aku baru menjawab salamnya. Aku benar-benar lega setelah dia pergi dari sini.
Pada seneng ya kalau aku posting 2 x?
Hahaha, aku juga seneng kalau yg vote & komen juga banyak
Tidak bisa dipungkiri, apalagi sekarang ada dukungan via KaryaKarsa... maskin happy kalau tiba-tiba dapat notif ada dukungan baru
Ah, angin segar buat beli kuota
Terimakasih ya, pokoknya jangan bosan dukung aku, aku juga nggak bosan bikin story buat kalian ;')
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
RomanceTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...