Sudah jam dua belas kurang, Temi mengajakku kabur untuk makan siang. Aku langsung bangkit setelah mengantongi pouch kecil dan meraih ponsel di atas mejaku.
"Bakmi GM yuk!" ajakku, yang kebetulan ingin keluar kantor sekalian. Makan siang dengan suasana baru kayaknya enak. Otakku butuh suasana segar sebelum harus berkutat dengan tugas baru lagi.
"Naik motor?" tanya Temi. Aku berpikir sebentar sebelum mengangguk.
Sampailah kami di parkiran sebelum jalan kaki menuju bakmi GM Thamrin. Aku jalan lebih dulu, Temi sedang menerima panggilan daruratnya dari Mas Eko. Langkah kakiku belum berhenti berjalan melewati parkiran, mobil-mobil berjejer panjang dan rapi. Tiba-tiba Temi mencegatku. "Nin, gue balik dulu ya. Mas Eko butuh gue sekarang."
"Heh? Dia ganggu saja sih!" kataku sewot.
"Memangnya ganggu kenapa? Kan, cuma makan siang doang, kecuali kalau kita lagi kencan." Cengiran Temi terlihat childish, seperti biasa lah. Aku meninju lengannya pelan. "Masih mau makan di sini atau gimana? Ikut balik saja yuk makan di kantin bawah?" ajaknya.
"Bosen. Gue sendiri saja, nggak apa-apa." Aku melambaikan tangan dan menyuruhnya balik badan, dia segera pergi memenuhi panggilan Mas Eko.
Aku kembali melangkah, ada mobil yang baru masuk ke parkiran, aku menyingkir sebentar untuk membiarkan SUV Jepang itu lewat. Sontak aku kaget sendiri ketika mengingat mobil itu mirip sekali dengan mobil yang pernah dibawa Harris, aku bersembunyi di balik mobil Pajero putih, berjalan mengendap-endap dan mencuri cara untuk kabur. Mendadak jadi parno sendiri, takut kalau di dalam mobil tadi memang benar-benar Harris walau persentase kemungkinannya hanya 0.5 per 1.000 persen! Tapi kan aku tidak tahu, alam kadang mengonspirasikan sesuatu yang tidak dapat aku duga sama sekali.
Aku berhasil lolos dari area parkir, menjauhi area bakmi GM dan memutuskan untuk makan di tempat lain saja. Baru kubalikkan badan, tetapi aku nyaris menubruk tubuh tinggi seseorang, aku mendongak dan menyaksikan senyum menggoda dari seseorang yang ternyata Harris!
Tuhan Sakalian Alam... apakah ini ujian?
Harris berdiri gagah, satu tangannya merapikan dasi yang agak miring. "Kelihatan banget kamu ngindarin saya, kenapa?" tanyanya to the point. Aku belum sempat menjawab dan dia melontarkan sebuah pertanyaan lagi. "Terus-terusan nolak makan siang bareng, kenapa lagi tuh?" tatapannya menyelidik, wajahnya semakin seram dengan kedua alis yang terangkat ke atas.
"Sibuk," balasku pendek, lalu menunduk. Bola mataku malah tak sengaja melihat dia menjejalkan satu tangan ke saku celana warna biru gelap, jasnya juga biru gelap dan kini aku memberanikan diri untuk menatap wajahnya.
"Sibuk sama temanmu yang tadi?"
Otomatis aku mengangkat satu alis, maksudnya mungkin Temi. "Iya lah, kan kerja bareng."
"Sering makan siang bareng juga?"
"Iya!" jawabku ngotot. Kenapa tanya-tanya?
"Kalau gitu kamu bisa dong sediain waktu buat makan siang bareng saya, satu minggu sekali saja. Bisa?"
Aku menatap Harris sambil berpikir keras untuk menemukan jawaban yang tepat. Tepat untuk memberi penolakan secara terhormat. Biar bagaimana pun harus aku akui kalau perempuan di luar sana pasti iri kalau melihatku bisa makan siang dengan laki-laki model Harris.
"Lihat nanti deh!" jawabku gantung. Otakku mendadak macet.
Aku mendengar Harris menarik napas pelan, "belum makan, kan?"
Keputusan terbaikku sudah lewat, harusnya ikut Temi pulang tadi dan tidak pernah terjebak di sini bersana Harris Ahsan. "Belum. Tapi saya mau balik ke kantor." Ucapku gelisah, melirik pergelangan tangan. Tidak banyak waktu lagi.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
RomanceTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...