Uninvited Guest

7.8K 888 12
                                    

Sudah kukenakan setelan piyama warna maroon, seharusnya tidur bukan? Tidak. Perutku mendadak lapar sekali setelah membereskan kamar yang sempat berantakan akibat begadang berhari-hari, baju kotor di sudut dekat kamar mandi sampai menggunung dan belum sempat aku antar ke tempat laundry. Akhirnya pukul 09.00 malam, aku sibuk di dapur membuat spageti, baru saja memasak air tiba-tiba terdengar bunyi bel. Seseorang di bawah minta dibukakan pintu.

Dugaanku, kalau bukan Temi ya Tiara—tapi ini tidak mungkin, kami baru saja selesai teleponan menggosipkan soal Alex yang bekerja di kantorku. Temi juga selalu izin kalau mau mampir sebentar ke sini.

Atau jangan-jangan ini sepupuku, Genta, yang kalau pulang ke Jakarta suka mendadak. Aku menekan tombol intercom untuk membuka pintu, tak berniat bercakap-cakap dengan tamu yang sedang menunggu di bawah. Payahnya, ketika pintu apartemen dibuka, ternyata bukan mereka yang datang. Aku terenyak ketika melihat siapa yang muncul dan tersenyum ganjil padaku.

"Harris?" tidak percaya sama sekali bahwa laki-laki ini, pukul sembilan lewat sedikit, sedang berdiri di depan pintu apartemenku. "Kamu sama Tiara?" aku melongokkan kepala ke luar. Kosong. Tidak ada siapa-siapa selain makhluk-makhluk yang tidak terlihat wujudnya.

"Nggak, sendiri." Senyum tipis terukir di bibirnya.

Aku masih beridiri menatapnya seperti orang bodoh. "Terus?" tanyaku setelah sedikit tenang.

"Kamu nggak nyuruh saya masuk?" tanyanya. "Boleh, kan?" Tanpa kupersilakan dia sudah masuk, lalu apa gunanya bertanya? Kurasa nilai etiket si Harris memang buruk. Ada kemiripan antara dia dan Tiara, sama-sama kurang sopan saat bertamu.

Baiklah, sekarang si Harris ini menganggap tempat ini seperti rumahnya sendiri.

Tiara. Mendadak aku kesal dengan sahabatku itu, pasti dia yang memberikan nomor apartemen ini pada Harris. Keterlaluan kamu, Ra! Aku menahan emosi dengan mengepalkan kedua tanganku di balik punggung.

"Kamu masak?" tanya Harris yang mencium sesuatu dari arah dapur.

Air rupanya sudah mendidih sejak tadi. Aku berlari ke dapur diikuti langkah Harris yang lebar.

"Kebetulan saya juga lapar sih," ucapnya tanpa diduga.

Enggak tanya! Aku hampir saja menjerit pada seorang tamu yang tidak tahu aturan bertamu ini. Untuk apa coba malam-malam begini datang ke apartemen seorang perempuan—masih lajang pula—dan hanya tinggal sendiri!

Siaga satu. Payah, aku nggak jago bela diri. Kalau dia mau macam-macam bagaimana ini? Pikiranku ruwet. Mumet seketika.

"Boleh ya saya dibagi makanannya?" Harris terus membuntutiku dengan jarak yang dekat. Membuatku jadi gerah seketika.

"He-em," jawabmu malas. Kalau saja aku tidak kelaparan, sudah pasti aku mengusirnya dengan alasan ingin lekas istirahat dan bangun pagi.

Dengan terpaksa aku menambah porsi spageti yang akan dimasak. Aku sibuk meracik bahan-bahan yang lain, Harris hanya melihat kegiatanku sambil menyandarkan punggung ke dinding dekat lemari pendingin. Tangannya bersedekap dan tatapannya tajam, persis seperti seorang chef yang sedang menjuri di acara master chef yang pernah tayang di televisi lokal.

"Kamu ngapain ke sini?" tanyaku, sambil mencincang bawang putih. Aku meliriknya, kulihat sebelah alisnya terangkat. Tidak menjawab? Iya. Aku tak mau kalah, aku bertanya lagi. "Harris?" nadaku naik satu oktaf.

"Ya?" jawabnya, terdengar datar.

"Kamu ke sini mau apa?" kini aku menatapnya tajam. Dia melihat ke bawah, tangan kananku masih memegang pisau putih. "Kamu mau jawab atau aku cincang seperti bawang ini?" aku menunjuk ke talenan kayu, di atasnya sudah ada bawang putih dan sosis yang habis kucincang.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang