Go Away

5.8K 739 38
                                    

Terima kasih sudah baca karya-karyaku di sini dan KaryaKarsa
Semoga sukaaa. Love.

oOo

Saat pulang ke apatemen aku sudah mulai mengepak barang-barang yang perlu kubawa ke rumah Tante Pinkan, Genta sebentar lagi juga balik ke Jakarta, mana mungkin laki-laki dan perempuan bukan mahrom tinggal satu atap dan hanya berdua? Setan bisa leluasa menggoda walaupun kelihatannya aku dan Genta sangat tidak cocok, kami memiliki kepribadian yang jelas-jelas berbeda. Dan... mana mungkin aku terpikat pada pesona buaya darat itu? Tepatnya, mantan buaya pemangsa wanita!

Ah, Genta mengirimkan pesan lagi. Panjang umur dia.

Genta : Lo nggak sentuh barang apapun kan di kamar gue?

Aku meringis sambil berpikir, pernah tidak ya tangan ini mengambil barang milik Genta atau kaki ini menginjak kamarnya tanpa sengaja? Aku membalas setelah berpikir cukup lama.

Hanindya : Kayaknya enggak.

Genta : Enggak?!

Aku kembali memutar otak, lebih pelan dan tersistem. Lalu mendadak ingat pada Harris, dia pernah pinjam kamar mandi dalam. Juga Tiara, dia pernah memakai handuk Genta karena numpang mandi di sini. Ya Ampun, aku baru ingat dosa-dosaku pada Genta.

Genta memanggil...

Aku menggaruk kepala sebelum menerima teleponnya.

"Lo di tempat gue?" sambar Genta begitu aku menempelkan ponsel ke telinga, dia terdengar ngos-ngosan, bikin curiga saja!

"I-ya." Balasku gugup. Ah, soal Harris dan Tiara bohong saja deh, daripada dia banyak tanya.

"Lo nggak sembarangan masuk kamar gue, kan?" tanyanya dengan nada menuduh.

"Buat apa? Lagian ada barang berharga apa sih sampai kamar nggak boleh dimasukin?!" jeritku. Sumpah, saat ini aku deg-degan karena takut jujur padanya. Walau Genta baik, tapi mana mungkin aku jujur kalau pernah ada laki-laki yang bukan saudara kami masuk ke apartemennya ini. Mampus aku.

Genta menghela napas, tidak teratur.

"Lo lagi ngapain sih?"

"Olah raga," balasnya cepat.

"Nge-gym?"

"Iya."

"Oh... pantesan."

"Kenapa? Lo kira gue ngapain sih?" Genta terdengar berang. "Kata Tante Pinkan lo baru patah hati ya, Nin?" sambarnya tanpa diduga.

Mulutku mengaga seketika. Cepat juga berita itu sampai pada Genta.

"Gue kemarin telepon Tante, biasakan dia minta dibawain oleh-oleh kalau gue baru balik. Jadi gue tanya dia mau dibawain apa gitu... eh, tahunya dia malah ngomongin lo yang habis nangis-nangis di rumahnya. Kenapa sih lo? Ketemu cowok kayak Vino lagi ya? Sial terus hati lo, Nin." Ejeknya sungguh terlalu.

"Sembarangan! Daripada ketemu buaya darat kayak lo!" dumalku kesal. "Lo telpon cuma mau bilang itu doang?" amukku.

Genta tertawa, sepertinya dia telah menghentikan aktivitas fisiknya. "Serius, gue nanya sama lo. Ada yang nyakitin lo?"

"Nggak ada. Nggak usah ikut campur deh!" tukasku, tidak mau cerita panjang lebar atau lebih lanjut. Lagipula aku dan Kalky tidak akan pernah bertemu lagi setelah ini, aku akan segera pergi dari kantor ini. Jadi, buat apa aku cerita soal duda beranak satu pada Genta. Bukannya membantu, dia bakal usil.

"Oke kalau gitu. Tapi lo baik, kan, sekarang?"

"Iya..."

"Hanin?"

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang