Why Did He Come?

6.3K 749 19
                                    

Ayo Vote, Komen, & Follow aku di Wattpad dan ig @rah.id

Terimakasih banyaaak sudah baca tulisanku di sini. Baca juga di KaryaKarsa, nikmati voucher yang ada. Buruan serbu sebelum habis!

Tiga hari telah berlalu dengan cukup baik, bersitegang anggota tim Wolf akhirnya mereda dan atmosfir kantor mulai dinamis—sepertinya masalah kemarin sudah ada jalan keluarnya. Hari ini akhirnya aku memutuskan untuk pulang sedikit lebih lama karena memang ada tugas yang harus dikerjakan di kantor.

Aku kembali ke kantor pukul delapan malam setelah berjalan-jalan sebentar di luar, me-refresh otak supaya tidak jenuh dan bisa kembali konsentrasi untuk kerja lagi. Tadinya Temi mau ikut atau sekadar mengantarku, aku tidak mengizinkan dengan dalih "kalau ada cowok cakep dan tajir mau deketin gue gimana, Tem?" lalu dia terpaksa mengurungkan niatnya dan membiarkanku bebas berkeliaran sendiri. Padahal aku hanya duduk-duduk saja di sebuah coffee shop dan membeli camilan sekantung plastik. Jahatnya aku ini, tidak, aku memang butuh waktu sendiri dulu setelah berjibaku dengan pekerjaan yang menguras tenaga dan pikiran. Belum lagi ada pesan dari Harris yang sedikit aneh dan mengejutkan.

Harris : Hanin, lain kali boleh saya mampir lagi ke tempatmu? Rasanya nyaman sekali kalau di sana. Kayak rumah sendiri.

Aku tidak membalasnya. Malas dan tidak tahu mau mengetik apa. Biasanya dia juga datang tanpa permisi, mendadak dan bikin aku berpotensi jantungan.

"Apa tuh?" muka Temi yang lecek nampak cerah ketika melihatku muncul di kantor ini lagi. "Makanan, bukan?" seketika cengirannya melebar.

"Iya!" Tanpa basa-basi lagi Temi main serobot, ia mengambil gorengan dan juga wafer dalam kemasan kotak. Tak lama Mas Eko datang, melongok tempatku dan meminta makanan. "Tuh kan, giliran begini saja radarnya langsung cepet!" kataku jutek.

"Jangan pelit-pelit, Nin, nanti cepat kaya lho." Sindir Mas Eko yang tetap memaksa diri mengambil jajanan lain.

"Bukannya sedekah ya yang bisa bikin kita cepat kaya?" Temi berujar.

"Ho-oh." Aku mengiyakan dengan sungkan.

"Thanks ya, Nin. Laper gue, belum makan." Kata Mas Eko sambil mengunyah.

"Dua hari?" tanyaku sambil terkekeh. Semenjak dia panas-panasan dengan anak buahnya sendiri, aku baru berani menggodanya hari ini.

"Tuh kan, sudah jutek sukanya nyinyir, susah deh dapat pacar!" ledek Mas Eko dengan tampang melucu. Lalu kemudian ia tesenyum jahil, sepertinya akan menggencarkan ejekan barunya. "Eh, lagi PDKT-an ya sekarang? Sudah sampai mana?"

Aku melirik Temi yang asyik dengan pekerjaan dan wafer di tangan kanannya, berharap dia tidak mendengar perkataan Mas Eko. "Apaan sih, Mas! Biasa saja kali," kilahku.

Kadang-kadang aku merasa gemas sama bapak satu ini, usinya baru 38 tahun, sudah punya anak satu, hobi banget bikin orang kesel. Tadinya ngobrol santai tapi juga suka mendadak bikin emosiku naik di ubun-ubun. Aku tak suka ada orang yang begitu saja menyimpulkan hubunganku dengan Harris lebih dari teman biasa. Aku sangat tidak nyaman sama sekali ketika Mas Eko menyebutnya sebagai tahap pendekatan, nggak banget deh! Lagian, Kalky mau aku taruh dimana? Hellow... Hanindya yang sekarang juga belum mengeluarkan kode-kode apapun sih ke duda satu anak itu, sebab memang timing-nya selalu tidak pas. Kalky masih bolak-balik ke luar kota, semoga saja pas outing kantor dia bisa ikut.

"Lo nggak balik, Nin? Nemenin Temi?" Mas Eko menggigit cabai dan bakwan sekaligus.

"Enak saja, gue lagi banyak kerjaan juga nih. Masa Pak Bos nggak ingat sudah ngasih apa saja ke anak buahnya sih?!" aku berkata ketus, sekaligus menyindir. "Laporan Ciputra juga baru di kirim banget-bantet tadi. Masih anget!" tambahku dengan slentingan kacau.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang