Saat akan pulang aku dicegat oleh Alex. Dia mengajakku bicara empat mata. Awalnya aku ingin menolak, tapi karena mungkin ini adalah perpisahan kami, akhirnya aku memilih untuk mengiakan ajakannya.
Kami mampir di sebuah kedai kopi lokal. Alex bilang tempat ini tidak seramai kedai lain dan bisa membuat kita nyaman, suasananya sungguh intimate. Ya, aku juga lumayan leluasa di kedai ini, berbeda dengan kedai kopi lain yang selalu ramai dan penuh pengunjung.
"Gue sudah dengar soal lo mau lepas kerjaan." Alex memulai percakapan. "Lo serius, Nin?"
"Iya," kataku lirih.
"Lo mau pindah kemana?"
Aku menatap kopi di depanku. "Gue mau... gue nggak kerja dulu."
"Lo ada masalah?" todongnya.
Aku mengangkat wajah. "Nggak..." aku berbohong, namun Alex terus menatapku seolah tidak percaya, akhirnya aku mengatakan kebenaran. "Iya."
Alex mengambil napas sebelum bicara lagi. "Gue mungkin bukan teman dekat lo, Hanin. Tapi gue bisa dengar apapun yang mau lo keluarin..." sahutnya baik hati.
"Nggak apa-apa. Gue memang nggak mau cerita kok." Bagiku Alex orang luar, tidak berhak tahu masalah yang sedang kuhadapi saat ini.
"Apa yang bisa gue bantu?" tawarnya, ia menatapku baik-baik.
Aku tersenyum kecil. "Lo?" tanyaku seraya berpikir. "Lo handle kerjaan gue, gue akan sangat berterimakasih sekali karena bisa segera kabur dari kantor untuk menenangkan pikiran," ungkapku penuh harapan.
"Itu namanya ngerepotin gue, Hanin." Alex tertawa kecil.
"Lo yang minta, kan?" tunjukku.
Alex memandangku terang-terangan, tatapannya tajam tapi tak membuat aku jera.
"Kenapa?"
"Ada sesuatu yang mau gue sampein ke lo..." Alex diam sejenak, mengambil napas. "Gue masih suka sama lo."
Aku menjauhkan diri dari meja. "Suka?"
Alex mengangguk. "Meskipun waktu itu gue dan lo sudah tahu satu sama lain, bicara dari hati ke hati... tapi perasaan gue tetap sama ke elo. Gue tertarik sama lo, Hanin."
Aku tidak berkata apa-apa, masih sibuk memahami kalimatnya.
"Gue nggak tahu kenapa gue bisa stuck di satu orang lumayan lama gini, meskipun nggak dapat juga hatinya." Alex tersenyum dan menggeleng. "Gue nggak tahu, Hanin. Padahal gue sudah berusaha untuk lumayan menjauh dari lo ketika di kantor. Gue berusaha lihat perempuan lain ketika di luar. Anehnya, perasaan gue ke elo masih tetap ada."
Aku mengambil napas, tidak tahu harus bagaimana.
"Gue juga tahu soal Temi. Gue tahu dari lama kalau Temi naksir lo, di puncak waktu itu Temi sempat lihat lo sama Harris yang itu... Temi tiba-tiba balik ke hotel karena cemburu." Alex menjelaskan semua itu dengan santai, tanpa beban sama sekali. "Tapi gue bukan Temi yang cuma diem nyimpan perasaannya sendiri, gue harus terus terang sama lo, meskipun gue tahu jawabannya. Lo pasti belum berubah pikiran, kan?"
Aku menatap meja, mataku agak berkaca-kaca.
"Hanin, gue tahu lo juga nggak bisa paksain perasaan lo ke gue. Tapi kalau ada kesempatan sekali saja buat gue jagain lo, jadi bagian dari cerita hidup lo, gue juga mau... gue mau banget." Alex menatapku lekat, membuatku sulit sekali menarik napas.
"Alex..." lirihku.
Alex nampak menungguku bicara.
"Nggak apa-apa lo nggak balas perasaan gue, gue ngerti kok. Tapi gue sudah lega banget karena ngomong sejujur ini sama lo. Gue jadi lebih percaya diri buat melangkah, itu semua karena gue sudah ngungkapin semuanya ke lo. Makasih, Hanin. Secara nggak langsung lo sudah buat gue semangat lagi." Alex tersenyum, tidak tahu apakah perasaannya sama baiknya seperti ekspresi yang kupandang kali ini.
"Gue yang makasih karena lo ternyata..."
"Baik?" potong Alex, ia penuh percaya diri.
Aku tertawa pelan. "Lo kelewat percaya diri ini mah."
Alex mengangguk tanpa sungkan. "Ya, gue tahu."
Aku menarik napas panjang sebelum bicara. "Gue yakin di luar sana lo bisa dapat cewek yang baik buat lo."
"Thanks harapannya." Alex tersenyum lebar, "tapi kalau lo mau kasih gue kesempatan, kapan pun itu, gue siap nerima tawaran itu."
"Alex!" aku tak tahan untuk tidak memukul tangan orang di depanku.
Alex tertawa pelan setelah berhasil menghindar. "Oh ya, untuk masalah yang mungkin sekarang sedang lo hadapi, gue berharap segera ada solusinya dan lo bisa kembali ceria seperti sedia kala. Lo itu kayak sinar bulan kalau sudah tersenyum, bikin cowok-cowok pada terpikat tahu!"
"Gombal!"
Alex menyipitkan mata. "Nggak percaya?"
"Alex, lo memang jago kalau sudah gini nih."
"Tapi sama lo, ini pertama kalinya gue bilang kayak gini, kan? Soalnya lo memang nggak suka digombalin. Gue tahu, Hanin. Gue tahu banyak tentang lo." Alex menyesap kopinya, kembali menatapku.
"Thanks. Mulai sekarang lo harus berhenti mikirin gue, oke?" titahku.
"Ya, nggak janji itu sih."
Aku tersenyum kepadanya. Alex memang baik, tapi kebaikannya tak membuatku ingin jatuh ke pelukannya. Aku takut dia masih sebuaya dulu. Aku takut ini hanya bagian dari obsesinya, yang akan segera pudar setelah dia menemukan perempuan baru.
"Sudah malam, gue antar balik ya?" Alex melirik jam di tangannya, pukul delapan lewat.
"Boleh. Tapi ini terakhir kalinya ya, gue nggak mau bikin lo susah move on." Balasku seraya menarik diri dari kursi.
Alex tertawa, aku ikut tertawa mendengarnya. Sungguh, dia adalah orang yang sedikit menghibur dan menyenangkan. Tapi saat ini aku memang tidak punya perasaan apa-apa padanya, sama seperti perasaanku pada Temi dan yang lain. Kosong, hampa.
...
Terimakasih sudah baca karya-karyaku di sini dan Thank a lot buat yg kasih dukungan di KaryaKarsa, lumayan hasilnya bisa buat beli kouta dan upload cerita jd gampang! Wkwkwk
Aku nulis di KaryaKarsa, Wattpad, Gwp juga ya...
Follow me di ig (rah.id) biar dapat info lainnya, juga serbu voucher diskon buat baca di KaryaKarsa
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
RomanceTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...