A Bell

5.9K 729 14
                                    

Walau dinding bisu, ia tetap jadi saksi sebuah cerita.

...

Setelah sepekan lalu jadwalku padat dengan pekerjaan serta meeting dengan klien dari Setiabudi, akhirnya weekend ini aku bisa menikmati me time-ku lagi. Ini adalah salah satu moment paling nyaman dalam hidupku, aku bisa rileks serileks-rileksnya hanya dengan mendengarkan alunan musik klasik sambil menikmati susu cokelat hangat, menyaksikan pemandangan dari balik jendela kaca yang besar. Oh, di bawah sana ada yang sedang berenang ria dan jogging. Kenapa aku tidak kepikiran ikut ya? Padahal sehabis shalat subuh tadi aku bisa jogging sebentar, kalau sekarang rasanya sudah terlambat karena matahari sudah menusuk-nusuk kulit dan membuat keringat deras mengalir—itu hanya akan membuat cucian kotorku tambah menumpuk.

Aku mendengar bunyi bel apartemen. Heran, sepagi ini siapa yang bertamu? Kalau Tiara, biasanya dia akan mengabariku lebih dulu, kalaupun mendadak dia tetap akan memberi kabar dan bilang kalau dia sudah di lobi. Temi? Kemungkinan yang paling tidak mungkin, apalagi akhir-akhir ini dia banyak mendiamkanku setelah pulang dari outing, seperti ada sesuatu yang salah di antara kami, tapi saat aku bertanya "ada masalah apa?" dia tidak menjawab dengan benar. Aku cuek saja, mungkin dia butuh waktu untuk menuntaskan programnya, cowok itu kalau sedang serius kerja memang selalu butuh tempat untuk sendiri agar bisa berkonsentrasi penuh. Kalau saja jarak ke bulan itu dekat, mungkin aku tidak akan berpikir dua kali untuk mengirimkan Temi ke sana agar bisa fokus setiap sedang memenuhi deadline.

Kutekan tombol intercom, suara Harris segera terdengar. Sempat terkejut ketika mendengar siapa yang bertamu pagi-pagi. Dan aku lebih shock lagi ketika mendapati wajah lelah dan pucat pada tamuku pagi ini.

"Kamu sakit?" tanyaku khawatir, aku membiarkannya naik ke atas dengan terpaksa.

Harris menggeleng pelan. "Boleh masuk?"

Yah, dia sudah berada di depan pintu, mana mungkin aku mengusirnya. "Masuk saja," aku menyingkir dan membiarkan laki-laki itu berjalan masuk. Kutatap punggungnya, terlihat dia sedang kelelahan, bukan Harris yang biasa datang dengan segala ketidakjelasan, wajahnya tadi sangat mencemaskan. Ini Harris yang butuh tempat untuk berbagi... ruang sepi sejenak, mungkin. Dan... Ya Tuhanku... weekend begini dia masih pakai kemeja? Tapi kemejanya terlihat sangat kusut seperti bekas dipakai seharian. Aku jadi penasaran dan berniat menanyakan beberapa hal. Kebawelanku pada orang ini mulai bertambah.

"Kamu lembur sampai tidur di kantor, Ris?" aku berdiri di depan Harris, tapi terhalang oleh meja di atas karpet.

"Nggak. Ada urusan sedikit."

Keningku berkerut, "sedikit? Tapi nggak pulang ke rumah? Kamu nggak tidur ya?" tanyaku bertubi-tubi. Mataku terus mengawasinya.

Harris mendongak kepadaku karena ia duduk di sofa, dan saat ini aku benar-benar menyaksikan dirinya yang lelah dan butuh istirahat sejenak, disaat seperti ini wajahnya masih terlihat ganteng. Sial! Orang macam dia kalau lagi bad mood dan menyedihkan kok tetap keren ya? Dunia kadang tidak adil bagi orang berwajah pas-pasan.

"Saya boleh istirahat sebentar?" ujarnya lirih. Nampak tidak ada tenaga dan semangat.

"Hah?" aku tidak bisa untuk tidak terkejut. Kulihat dia langsung merebahkan badannya ke sofa yang sedang ia duduki, dia menatapku untuk menunggu, akhirnya aku terpaksa mengangguk kecil. Ia sempat tersenyum sebelum akhirnya memejamkan mata tanpa canggung sedikit pun. Aku tidak bisa berbuat apa-apa selain diam dam menatapnya penuh tanda tanya. Dia dari mana sih semalam, kok sampai tidak tidur dan wajahnya pucat sekali. Aku tergelitik untuk mengirim pesan pada Tiara, dan siapa tahu sepupunya itu mau menjemput Harris di apartemenku. Tapi sahabatku satu ini rupanya sedang kerasukan dedemit. Dia membalas pesanku dengan tulisan yang tidak masuk akal sama sekali.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang