Back to good relationship

5.6K 696 24
                                    

Sampai hari ini aku masih belum berbaikan dengan Temi. Awas saja kalau siang nanti dia masih tidak mengajakku makan siang bareng. Awas! Nyatanya pada pagi ini Temi terselamatkan, dia sedang kunjungan ke kantor klien bersama Rasya. Aku duduk di kursi dengan tampang resah dan gelisah, tidak ada teman mengobrol saat kepala sedang suntuk, tidak ada Temi rasanya sepi, tapi jauh lebih mending daripada ada orangnya tapi bisu dan tidak peka kayak anak baru mangang kemarin sore.

Pukul sepuluh lewat aku sedang menunggu panggilan dari Mas Eko setelah menyerahkan laporan pagi tadi. Aku duduk di kursiku sambil memutar-mutar bolpoin, sementara tangan kiriku menyangga kepala yang banyak beban.

"Nin," suara itu membuatku mendongak.

Alex. Aku menengok kanan dan kiri sebelum bertanya apa tujuannya ke meja kerjaku. "Kenapa?"

Alex menumpang duduk di kursi Temi, menariknya agar lebih dekat denganku. Ternyata saking dekatnya duduk kami, aku sampai bisa mencium aroma parfum yang dia pakai. "Ada sesuatu yang mau gue tanyain," katanya sambil meletakkan lembar kerja di atas mejaku.

"Soal kemarin?" aku menarik diri mundur.

Alex terlihat menahan tawa. "Kan lo sendiri yang bilang jangan dibahas lagi..." ucapnya, menatapku baik-baik.

"Oh." Wajahku mendadak panas karena malu. "Jadi apa nih?" aku mulai duduk santai dan bersandar di kursi.

Alex membuka lembar kerjanya dan menunjuk salah satu diagram. Aku salah sangka, aku kira dia masih mau membahas masalah kemarin. Syukurlah kalau bukan itu yang ingin dia tanyakan. Alex dan aku sibuk mendiskusikan permasalahan di depan kami sampai Mas Eko memanggilku masuk untuk membahas laporanku. Hari ini aku benar-benar lega setelah tahu Alex tidak mengungkit masalah kemarin lagi. Sejujurnya dia orang yang cukup baik dan juga pengertian.

oOo

Menjelang jam dua belas, jam makan siang, aku melihat Rasya sudah kembali ke kantor. Tak lama Temi juga muncul dan seperti biasa, ia langsung duduk di kursinya tanpa menyapaku lagi. Benar-benar terasa janggal dan aneh sekali, kan? Aku runut ulang semua kejadian pada hari sebelum sekarang, siapa tahu aku yang punya salah dan harus minta maaf lebih dulu.

Tapi tidak sih.

Terakhir kami ngobrol dengan baik yaitu ketika di bus saat kembali dari Puncak, kami duduk berdua dan mendiskusikan masalah makanan dan hotel yang lumayan nyaman serta baik pelayanannya. Lalu setelah itu sepanjang jalan Temi memejamkan mata, aku pun ikut tidur setelah memasang earphone ke telinga. Hari itu rasanya benar-benar lelah.

Aku baru saja memutar kursi duduk ke arah Temi, dia sudah bangkit dan masuk ke ruangan Mas Eko dengan Rasya. Sebelum jam istirahat tiba aku ke kamar kecil sebentar dan saat kembali aku dibuat kecewa oleh Temi karena dia sudah pergi dan tidak menungguku lagi. Yang aku lihat di ruangan ini hanya satu orang selain diriku, dia baru saja memutus teleponnya dengan seseorang.

"Egas." Aku berjalan menuju meja Egas dengan terburu-buru. "Temi kemana?"

Egas ikut berdiri, menatapku penuh selidik. "Ehm, kalian kenapa ya? Marahan? Emang sudah jadian?"

"Hah? Jadian gimana maksudnya?" keningku sampai berkerut karena bingung.

"Lhaaa... lo nggak tahu sampai sekarang? Ampun deh!" kata Egas sambil menepuk keningnya sendiri.

Akhirnya aku menyeret Egas keluar kantor, makan siang bersama di restoran seafood, aku mentraktinya sebab aku butuh banyak informasi tentang Temi. Modal sedikit, lalu aku korek semuanya. Ada apa dengan cowok satu itu? Yang biasanya super baik dan perhatian kalau di kantor. Aku kehilangan Temi, kehilangan sekali. Meja kerjaku rasanya sunyi kalau dia tidak mengajak bercanda atau sekadar melontarkan guyon.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang