Lunch Chat

7.2K 837 17
                                    

Kupikir cuma WiFi saja yang bisa merasakan konektivitas, ternyata hati pun sama.

...

Setelah menyelesaikan beberapa kesibukan mendesak, akhirnya aku bisa mengabdikan diri pada tugas berikutnya yaitu membuat context diagram, sekaligus membantu Egas menangani salah satu proyeknya. Demi menghalau rasa kantuk akibat semalaman begadang menonton The Imitation Game—yang entah kebarapa kali, akhirnya aku memutuskan untuk mengunyah kuaci. Sebenarnya semalam aku telah malalukan kehobongan pada Harris, aku sudah mematikan laptop, mengusirnya agar cepat-cepat keluar dari apartemen, tapi setelah itu aku masuk kamar dan menonton sampai puas.

Temi meletakkan minuman susu kedelai di atas mejaku. "Nin, kemarin urusan sama klien beres? Interview-nya lancar, kan?" tanyanya seperti biasa.

Aku mengangguk malas, Temi ikut mencomot kuaci dari mejaku di sebelah kiri, mengupas kulit lalu memakannya. Aku jarang melihat cowok makan kuaci kecuali semenjak pindah ke kantor ini. Karena cowok-cowok di sini adalah pemakan segala. Apapun jenis makanan di atas meja, pasti mereka embat.

"Hanin!" itu suara Mas Eko. Boleh tidak aku pindah kantor dulu, malas kalau setiap hari diteriaki Mas Eko dan diuber-uber kerjaan seperti sekarang.

"Ya, Mas?" aku menjawab tanpa perlu menoleh, biar dia tahu sekalian kalau aku pun sedang bekerja dan tidak bisa diganggu.

Mas Eko bersandar di antara mejaku dan Temi. "Jadi cewek ngemilnya yang cantik dikit kek. Masa cuma kuaci sih? J.CO dong, Nin. Kan, baru ditransfer." Tumben tidak langsung tanya soal pekerjaan. Diam sajalah, lagi malas menanggapi. "Lo dicariin orang dari departement accounting-nya Setiabudi, katanya masih perlu bahas apa gitu. Dia nggak punya nomor elo dan ngubungin ke gue nih!" Mas Eko menyerahkan ponselnya, aku melihat nama yang tertera di sana.

"Nggak ada yang perlu dibahas-bahas lagi, Mas...," jawabku malas. "Lagian gue lagi sibuk," aku sengaja menekan tombol enter dengan kasar supaya Mas Eko segera cabut.

"Lho? Ini klien lho, Nin. Lo gimana sih?" Mas Eko makah keki padaku.

Temi masih sibuk dengan kuacinya sambil memperhatikan perdebatan kami.

"Mas Eko yang gimana. Dia itu staf biasa yang mau goda-goda gue! Jangan kasih nomor gue ke dia!" aku memasang wajah sangar dan galak. Temi terkekeh, nyaris tersedak biji bunga matahari yang masuk ke mulutnya. Aku mengulurkan botol minumnya yang dia letakkan dekat laptopku. "Niiiiiih!"

"Oh, jadi ini yang ngeganggu lo kerja di sana?" tebak Mas Eko, menahan tawanya.

"Yaaaa...," selain Harris, ternyata ada tipe mas-mas yang suka bertingkah menyebalkan di Setiabudi. Padahal kalau sedang kunjungan kesana aku selalu berpakaian sopan, rapi, dan tidak pernah cari muka dengan siapapun. Heran deh, kenapa masih saja ketempelan mahkluk aneh seperti itu.

"Tem, lo temenin Hanin gih kalau dia mau ke sana lagi." Mas Eko menepuk pundak Temi, ia bermaksud baik padaku.

Temi nampak mengangguk. Setuju-setuju saja dia sih, malas juga kali mendengar repetan Mas Eko yang seperti tidak ada habis-habisnya. Kalau ada laki-laki yang kecerewetannya mengalahkan perempuan, paling juga Mas Eko. Dia diam kalau pas kerja di depan layar 14 inci saja, sisanya dia rewel minta ampun.

...

Sepulang dari Setiabudi aku dan Temi memilih makan siang di restoran seafood di Sudirman. Dalam timku, ada dua cowok yang lebih banyak diam dari cowok-cowok lainnya, salah satunya Temi. Aku sering membuka percakapan lebih dulu, kalau bukan soal kerja dia jarang membuka topik, katanya sudah capek mikir di kantor dan lebih senang main game.

Menunggu pesanan datang, aku membuka-buka chat di grup. Sejak semalam mereka membahas masalah yang menurutku nggak penting. Rasya, Temi, dan Mas Eko tidak terlibat dalam obrolan semalam, aku terlibat sebentar karena ingin meluruskan sesuatu, hanya itu dan selanjutnya aku mematikan ponsel saking ramainya.

Kubalikkan ponsel di atas meja, chat di grup The Wolf masih terus berjalan membahas ini-itu di jam istirahat kerja. Akhir-akhir ini kami memang jarang tatap muka, lebih banyak yang bekerja di kantor klien demi menuntaskan proyek agar tepat waktu. Dan juga agar bonus tahunan kami dapat mengalir dengan deras, seperti air di pancuran tujuh yang pernah kukunjungi di Bogor.

"Dari dulu gue selalu heran, kenapa cowok-cowok bahkan bapak-bapak, kalau sudah bercanda lalu ujung-ujungnya selalu menjurus ke joke vulgar. Ngomongin cewek seksilah atau isu poligami tapi dibagian yang nggak syar'i." Aku mulai menyinggung omongan di grup siang ini, seharusnya Temi juga tahu karena topiknya hot dan sensitive, tapi bagusnya dia tidak ikut-ikutan seperti Beni, Alex, dan yang lainnya.

Temi angkat bahu, "tidak semua laki-laki begitu..."

"Iya, kecuali elo, kecuali bokap gue dan mungkin juga calon suami gue!" kataku dengan PeDe, aku menekankan kata "calon suami" yang entah belum jelas siapa orangnya. Kalky? Sudah lama aku tidak melihatnya di kantor, aku dengar dia sedang ada project di luar kota. "Lagian yang bilang semua siapa? Gue cuma sensi saja sama group pas lagi bahas kerjaan kadang-kadang dibalas dengan kata-kata nggak berbobot alis gitu deh." Aku memelankan suara di bagian akhir. "Garing tahu nggak!" protesku kesal. "Lo pikir lucu ngomongin hal-hal vulgar di grup ya? Gue nggak nyaman tahu, enek!" aku tahu, tidak seharusnya aku melampiaskan kekesalan ini pada Temi. Dia bukan target sebenarnya. Tapi aku pun tidak mungkin memaki-maki semua orang dalam grup itu, aku bisa digeroyok oleh para dedemit kantor.

Temi mesem-mesem. "Lo cewek satu-satunya di group sih ya. Memangnya kalau di group khusus cewek, kalian ngomonginnya apa, Nin?"

Aku berpikir sebentar. "Skin care? Fashion? Ehm... sale? Yang jelas kita nggak suka lempar kata-kata nggak berbobot yang merendahkan orang lain atau gender lain gitu deh." Tapi kalau aku dengan Tiara beda, kami membahas semua hal. Bahkan masalah Kalky pun kami kuliti habis-habisan, walau sampai detik ini Tiara tidak terima bahwa aku naksir duda satu anak itu. Ya, hanya dengan teman dekatlah kita bisa saling terbuka dan tahu rahasia masing-masing.

Temi menaik-turunkan alisnya. "Tapi ingat ya, nggak semua laki-laki begitu..."

"Iyaaa!" teriakku lagi di telinga Temi, duduk kami memang sebelahan. "Bokap gue enggak gitu."

"Masa? Pernah lihat bokap lo zaman muda memangnya?"

Aku mencubit lengan Temi yang keras. "Garing! Garing, banget!"

Makanan belum datang juga, aku sudah lapar. Temi lagi-lagi mengeluarkan ponselnya, main game. "Lo kapan dapat cewek kalau kerjaannya cuma melototin game di HP!"

Temi tersenyum miring, "lo juga kapan nikah kalau pas mau dideketin langsung pasang mode jutek dan ngusir." Temi membalasku dengan sindiran telak. "Sorry... maksud gue nggak gitu, Nin." Dia menepuk-nepuk punggungku, aku memalingkan muka ke arah berlawanan. Iya, aku memang selalu begitu sejak pernah kecewa dengan Vino. Kalau saja Kalky yang mendekatiku, aku tidak akan menutup diri.

"Tem."

"Ya?"

Bilang tidak ya tentang Kalky? Dia seseorang yang lumayan dekat denganku di tempat kerja.

"Kenapa?" tanya Temi yang kembali mengantongi ponselnya. Dia menatapku, menunggu.

"Nggak jadi."

Tepat saat itu pesanan kami datang, pramusaji meletakkan piring dan gelas di atas meja dengan rapi, aku mengamatinya dengan wajah bengong. Masih menimbang-nimbang, antara akan bercerita atau tidak.

"Makan, Hanindya." Temi menyenggol lenganku pelan.

Kepalaku menoleh, kupikir yang memanggilku tadi bukan Temi. Yang suka memanggil namaku sepanjang itu kan...

"Kenapa?"

"Eng-gak. Nggak apa-apa." Otakku mendadak memikirkan satu orang yang sudah sepekan ini tidak muncul, pesan darinya pun tidak ada, apalagi telepon. Apa dia masih di Penang, bukankah dia bilang tidak lama.

"Makan, Hanin."

"Iya, iya, Tem." Jawabku gugup. Aku membuka ponsel dan melihat whatsApp, mungkin saja ada sebuah pesan tak terbaca atau terlewatkan. Sayang, tidak kutemukan satu pesan pun kecuali dari grup yang masih ribut membahas model dewasa.

"Gelisah amat, mau nelpon Tiara?" tebak Temi tanpa dasar.

Aku menggeleng, lalu menutup ponsel dan membaca doa makan.

Harusnya aku lega karena sudah lama tidak diganggu oleh sepupu Tiara, harusnya... tapi yang kurasakan justru aneh. Ibarat makanan, seperti ada bumbu yang kurang sehingga makanannya kurang lezat.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang