Tiara menggandeng lenganku, menarikku ke beranda rumah besar bergaya modern ini. Rumah tiga lantai dengan cat warna hijau muda dan putih, memiliki taman yang cukup luas dan kolam renang di sisi samping. Sempat kulihat SUV milik Harris terparkir di garasi rumah ini. Aku masih tak percaya berada di depan rumah Harris, kakiku terasa sedikit gemetar.
Tiara menekan bel satu kali, ketika itu aku masih ingin mengamati sisi lain dari rumah ini, sibuk sendiri melihat-lihat. Rumahnya tak beda jauh dengan milik orangtua Tiara. Aku suka tamannya, ditata sedemikian rupa hingga terasa seperti taman kupu-kupu yang pernah kulihat di mana ya...
Pintu dibuka, aku balik badan.
"Tiara? Tumben lo—." Harris menyapa Tiara dan mendadak melihatku, ia sangat terkejut. Sementara itu aku menunduk, tidak tahu harus bagaimana di depan dia yang kini terlihat lebih casual dengan pakaian rumahan. "Hanindya?" ucapnya tak percaya.
Tiara menarikku lebih erat, tinggi kami hampir sama. "Kalian perlu bicara, berdua saja ya. Gue ada urusan, Mas."
"Ra!" aku balas menarik lengan Tiara, menahannya.
"Enggak ada apa-apa. Kalau Mas gue ngapa-ngapain elo, tinggal teriakin Mang Yayat saja sih! Lagian di dalam juga banyak asisten rumah tangganya, Hanin Sayang." Tiara mengecup pipiku lebut sebelum akhirnya memaksa pergi. Sementara itu aku berdiri kaku di depan Harris yang menatapku dengan penuh kehangatan dan rasa lega.
Dia membuka pintu rumahnya lebar-lebar. "Masuk lah," suruhnya.
Aku mengikuti perintah Harris dan kami akhirnya duduk di ruang tengah, dengan pemandangan kolam renang yang luas dan indah. Seorang asisten rumah tangga membawakan minuman dingin dan beberapa kue kering. Setelah ia pergi ruangan menjadi hening.
Aku masih sibuk menatap lurus ke depan, mengamati kolam yang airnya berwarna kebiruan. Harris duduk sejajar denganku dengan jarak kurang dari dua meter. Aku bisa mendengar dia menarik napas dalam-dalam sebelum akhirnya berkata dengan pelan dan tenang. "Aku datang ke apartemenmu setelah beberapa hari tidak menemuimu. Aku ingin menjelaskan semuanya, juga tentang Keira..." Harris melirikku sebentar, "dia teman dekatku sejak kami sekolah di luar."
Telingaku terpasang dengan baik dan siap mendengarkan apapun yang akan dia katakan. Apapun. Kali ini aku mengalah, menurunkan ego dan tidak memberikan kesempatan untuk emosiku. Aku juga tidak akan memotong ucapannya, selain tidak baik, itu juga tidak sopan sama sekali. Ah, kurasa pelajaran etiketku memang buruk waktu SMP, jadi terbawa-bawa sampai sekarang.
"Keira sakit kanker stadium akhir, Nin. Dan dia harus melakukan operasi, kemoterapi, dia sempat kolaps berkali-kali. Aku... tidak bisa meninggalkannya karena dia temanku, teman yang sangat baik untukku saat kami sama-sama jauh dari orangtua. Kami memang dekat, tapi bukan untuk sebuah hubungan yang pernah ditulis salah satu media cetak sewaktu dulu—kalau kamu pernah mendengarnya."
Kupandangi air kolam yang tenang, aku juga tidak ingin bereaksi berlebihan walau sempat terkejut dengan masalah Keira. Tidak kusangka, perempuan itu terkapar oleh jenis penyakit mematikan. Kalau aku teman dekatnya, aku pun akan sedih dan berusaha membantu sebisaku. Aku masih bergeming, membiarkan Harris mengatakan apa yang ingin dia katakan.
"Setelah makan malam itu, aku sangat sibuk mengurus pekerjaan yang tertunda karena sering menemani adik Keira mengantar kakaknya ke Penang demi melakukan beberapa perawatan dan juga operasi kankernya. Orangtua mereka sudah lama meninggal, tinggal nenek-kakek yang terlalu tua untuk pulang-pergi ke Penang-Jakarta. Mereka benar-benar sendirian."
Dari sudut mataku, aku mulai merasa Harris menatapku. "Maaf, aku tidak pernah cerita soal ini. Aku hanya tidak ingin membebanimu, aku juga sedang berusaha melakukan pendekatan padamu. Beberapa kali aku pulang dari tempat kerja, lalu ke rumah sakit dan cukup lelah, tapi hari itu juga aku ingin melihat kamu walau sebentar saja. Jadi... aku sering mampir ke tempatmu setelah semalaman menginap di rumah sakit."
Ya Tuhan... kenapa mataku memanas?
"Sampai sini aku harap kamu mengerti dan mau memaafkan segala kesalahanku." Ucap Harris tulus padaku. "Kuharap semua salah paham pun bisa kamu maafkan, aku sudah menjelaskan semuanya, Nin."
Aku mengusap setitik air mata yang jatuh, lalu menatap wajah Harris yang tak kalah sedih kupandangi. "Aku bisa ketemu Keira, Ris?" rasanya aku lebih mengkhawatirkan teman dekat Harris dibanding perasaanku sendiri. Aku lupa dengan keegoisanku, keras kepalaku, kemarahanku... semuanya. "Aku ingin jenguk dia, Ris."
Harris menggeleng, wajahnya tertunduk lemah. "Sepekan yang lalu dia sudah pergi, tempat terbaik bukan di sini memang. Aku lega melepasnya pergi dengan tenang, Hanindya." Mata Harris menyiratkan kesedihan dan juga kelegaan yang muncul dalam hatinya. "Dia tidak akan sakit lagi, dia sudah tenang dengan segala kedamaian yang ia bawa pulang ke asalnya."
"Maaf, Ris. Aku tidak tahu sama sekali." Suaraku bergetar, air mataku jatuh karena sangat sedih.
Harris meraih tisu di atas meja untukku, aku menerimanya dan segera membuang ingus yang tiba-tiba ikut meleleh.
"Bukan salahmu. Pada akhirnya kita hanya menjalani apa yang telah Tuhan gariskan. Keira sudah cukup berusaha membuat dirinya pulih kembali dengan bantuan medis, doa keluarganya, dan usaha sampai titik akhir. Ini yang terbaik buat dia dan semua yang ditinggalkannya. Aku juga sudah baik-baik saja, temanku akan lebih bahagia jika kita semua ikhlas dengan kepergiannya." Jelas Harris dengan bijaksana.
Aku masih sibuk mengusap air mata, Harris tak tahan melihatku dan memberiku sapu tangannya yang sudah lama kulihat di atas meja.
"Terima kasih," aku menerima bantuannya. Menunduk dan membersihkan sisa-sisa kesedihan.
Terima kasih sudah baca karya-karyaku di sini dan Thank a lot buat yg kasih dukungan di KaryaKarsa. love.
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
RomanceTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...