Yuk Vote dulu dan Komen yang banyak ya.
Aku suka lho baca komenan kalian. Bikin semangat update!
oOo
Aku merasa bodoh karena sudah menuduh Harris yang bukan-bukan. Langsung saja aku meminta maaf untuk diriku dan atas nama Tante Pinkan yang mungkin kata-katanya telah menyakiti perasaan Harris. Mendengar permintaan maafku Harris malah tersenyum lebar. Dia mulai kumat lagi seperti biasanya, padahal belum ada sepuluh menit yang lalu dia bersikap anteng dan mellow. Oh, aku rasa dia memang begitu. Sejak lahir memang sudah aneh.
"Tapi, luar biasa juga omongan Tantemu itu ya? Pedas." Harris menyengir lebar mengingat kata-kata tanteku. "Aku nggak yakin bisa lupa soal itu."
"Waktu bisa menghapus segalanya, Ris."
"Tidak." Harris menolak kalimatku sambil menelengkan kepala.
"Berusahalah lebih keras agar lupa..."
"Apa aku harus?"
"Iya. Yang nggak enak dan nggak nyaman di hati harus segera dilupakan."
"Pantas saja untuk satu hal ini aku susah lupa."
Aku memiringkan kepala, "apa yang susah?"
"Kamu." Harris tersenyum dan membuatku terpikat. "Aku nyaris gila karena kamu. Mumpung kamu di sini, maka kamu harus tanggung jawab!"
Wajahku terpaku menatap Harris yang terus memandangku lembut. Aku menunggu kalimat berikutnya, tapi tak juga kudengar apapun dari bibirnya yang terlihat... ah, mengapa aku berpikir liar! Sudah saatnya mengakhiri bincang-bincang ini sebelum setan sialan memaksa aku menerkam Harris.
Rumah ini terlalu besar dan sepi, sudah pasti banyak dedemit bersembunyi untuk ikut menggoda kami berdua. Kalau bukan aku yang duluan menerkam, bisa jadi Harris yang akan menarikku lebih dulu dalam pelukannya. Uhhh, mana asisten rumah yang kata Tiara banyak itu? Tidak ada satu orang pun yang mondar-mandir di sini. Sunyi.
"Aku pulang ya, Ris." Aku sudah berdiri dan terburu-buru menarik tas dari sofa.
"Hanin, aku perlu bicara sama kamu." Harris ikut berdiri di depanku, lebih tepatnya menghalangi jalanku. "Kita masih perlu bicara, kan?"
"Apa lagi?"
"Kita."
Tanpa protes aku mengikuti instruksinya dan duduk kembali. Dengan begini aku telah memberi kesempatan pada para setan dan leluhurnya untuk semakin menggodaku untuk... ya, untuk melakukan hal mengerikan pada bujang ganteng yang kini sedang balik menatapku ini.
Harris melakukan kesalahan besar, dia lama menatapku sampai aku tak bisa bekedip. "Percaya atau nggak, aku nggak pernah menginginkan seseorang untuk tetap di sampingku seperti aku menginginkan kamu untuk tetap di sini."
"..." Rasanya jantungku bergemuruh, sementara mulut tetap membisu.
Harris terus menatapku sampai ikut-ikutan tidak berkedip. "I knew you and I never wanted to know anyone else."
Mendadak aku ingin tertawa mendengarnya. "Ngutip dari mana, Ris." Seperti pernah mendengar kata-kata itu dari film yang Tiara tonton di apartemen Genta.
Harris menggelengkan kepala, tersenyum lebar. "Aku nggak lagi bercanda, Hanin..." Ia kembali menatapku dengan lebih serius. "Aku mau kamu. Jadian, pacar, apalah itu istilahnya... Ya, aku mau kamu!"
Jantungku tak berdegup sesaat karena syok.
Oke, aku mengerti. Saatnya aku dan Harris mencoba sesuatu yang lain, bukan sekadar teman makan dan jalan bareng. Mungkin, sepasang kekasih. Aku sudah cukup dewasa untuk mencerna semua ini. Dia mau aku, sebaliknya, aku juga ingin dia berada di sampingku—dan buru-buru pergi agar tak ada setan yang terus menggodaku!
"Jadi, kamu mau kan menerimaku?" Harris terlihat ragu dengan jawabanku.
"Kita coba dulu ya, Ris." Jawabku sambil tersenyum. Harris menggeser duduknya, kian dekat hingga lengan kami bersentuhan. "Eits! Kamu mau apa?" mataku melotot saat Harris mengangkat tangannya ke belakang. Jangan bilang dia akhirnya terkena bisikan setan!
"Kunciranmu mau lepas," katanya.
Baru saja aku menguncir rambutku di mobil dalam perjalanan kemari, karena merasa gerah saat memikirkan masalahku dengan Harris. Kunciran ini kutemukan dalam tas, terselip di sana—entah sejak kapan.
"Bisa nggak sih sekali-kali digerai saja?" katanya lagi. Kali ini tangannya bergerak melepas kunciran yang aku beli di Blok M waktu itu, ternyata masih awet. "Ini kan yang..."
"Iya, benar. Yang sama kamu, kan?" Aku menunjuknya dan teringat sesuatu, foto itu. "Ris, kamu harus jawab jujur ya. Waktu itu kamu ngambil fotoku buat apa, ha?"
Harris diam sesaat, berpikir. "Sudah tahu ya? Itu untuk kenang-kenangan, itu pertama kalinya kita jalan bareng. Lain kali aku ambil foto kamu terang-terangan, janji nggak akan curi-curi lagi." Harris menyelipkan rambut ke belakang telingaku. "Kamu tahu nggak sih, kalau sering digerai begini bakal banyak cowok yang naksir sama kamu."
"Oh ya? Aku cantik dong ya!" kataku diiringi tawa halus. Harris geleng-geleng kepala. "Tapi gerah, Ris. Siniin kuncirannya." Aku mulai mencepol rambutku yang panjang, kayaknya besok perlu potong rambut untuk merayakan hubungan dengan pacar baruku sekarang.
Harris diam menatapku, tatapannya lembut.
"Akhir bulan ini aku resign," aku memberitahu Harris. Ia berhak tahu soal ini, lagipula dia juga sudah dua kali menyarankannya padaku. Dia pasti senang mendengarnya, meskipun ekspresinya sok cuek dan biasa saja.
"Bagus lah." Jawabnya enteng, sambil menyandarkan punggung ke sofa. Lalu perlahan-lahan kepalanya jadi bersandar ke pundakku.
"Lho?" aku menoleh.
"Aku khawatir ada yang iseng godain kamu atau malah nyulik kamu nanti."
Dia gombal? Umur hampir tiga-dua masih bisa gombal kayak ABG ya? Digombalin gitu aku malah gerah. "Pulang ya, Ris. Aku bilang ke Tante Pinkan perginya nggak lama."
"Aku antar ya? Sekalian ngelurusin yang salah paham kemarin sama Tante kamu yang mulutnya pedas itu." Harris memberi cengiran lebar. Aku tertawa mendengarnya, Harris menyipitkan mata dan geleng-geleng kepala. "Kamu juga suka sepedas itu ya kalau ngomong?" katanya.
"Tuh tahu!" balasku sambil berdiri, Harris jadi ikut-ikutan berdiri dan mengelus puncak kepalaku. Dia mendekatkan wajahnya ke wajahku, aku mundur selangkah. "Enggak, Ris. Enggak!" nyaris saja aku menjerit. Sepertinya Harris hampir melakukan apa yang sejak tadi kupikirkan. Setan berhasil membujuknya.
"Ya Tuhan, aku bercanda!" Harris tertawa, menyebalkan.
Kupikir dia serius, nggak apa-apa sih kalau serius juga, asal besok dia nikahin aku, kalimat ini cuma tersimpan dalam hati. Aku berjalan keluar lebih dulu saat Harris mengganti celananya dengan celana jeans, padahal pakai celana rumahan selutut juga nggak masalah, nggak ngaruh juga, kan mukanya tetap Harris Ahsan, ganteng.
"Hmmm... ini Mang Yayat kemana ya, Ris? Kok mobilnya nggak ada di depan? Nomor teleponnya juga nggak aktif." Aku bicara sendiri sambil jalan mondar-mandir, sementara ponsel masih kutempelkan ke telinga. Mendengar tawa renyah aku segera menoleh, Harris bersandar di pintu rumahnya yang terbuka lebar. "Tiara yang suruh sopir Tante pergi nih!" Aku hanya menduga-duga dan ternyata Harris mengangguk untuk membenarkan.
"Aku chat dia. Kalau nggak gini, mana bisa aku alesan buat anterin kamu pulang dengan selamat." Laki-laki itu tersenyum lebar, selebar pintu rumahnya.
"Kapan kamu chat dia? Aku nggak tahu tuh! Atau jangan-jangan sebelumnya kamu juga tahu aku bakal ke sini ya?" Tuduhku tak nanggung-nanggung, sambil melipat tangan di depan dada aku memelototi Harris.
"Jangan marah dong, Sayang... masa gitu saja ngambek sih." Dia berjalan mendekatiku, aku mundur dan mundur. "Eh, awas!"
Beruntung tangan Harris sigap menangkap tubuhku yang nyaris jatuh karena kaki kananku menginjak undagan menurun. Aku dapat mendengar napas Harris naik-turun. Jantungku sudah tidak bisa dikendalikan lagi. Debarannya makin cepat, rasanya seperti ingin meledak.
Harris belum mau melepasku, ia tersenyum dan mendekatkan bibirnya ke keningku. "Hati-hati," ucapnya lembut.
Kami terperangkap godaan setan sejengkal sebelum meninggalkan rumah ini, hanya sejengkal!
KAMU SEDANG MEMBACA
It Was Always You (1)
Roman d'amourTamat Romance. Comedy. Realistic Fiction Seri #AhsanFamily 2 Hanindya, a functional engineer. Kenalan dengannya akan membuatmu tahu tentang betapa hectic & riwehnya hidup di usia seperempat abad (25++) ini. Karir lumayan oke, simple, cerdas dan pemi...