Despondent

5.6K 710 16
                                    

Mulai hari Senin sampai Jumat aku bertekad menghukum diriku dengan work and work again, no chit chat yang nggak penting dengan siapapun, termasuk teman sebelah mejaku. Mas Eko sampai terheran-heran melihat aku begitu bersemangat di dapan layar laptop, membantu pekerjaan Temi dan bersiap-siap mengimplementasikan sistem ke kantor klien di Setiabudi. Agar tidak bertemu dan cepat melupakan Kalky dari kepalaku, maka kuatur waktu sebaik mungkin. Ini siasat penting yang harus aku patuhi baik-baik!

Pagi ini aku berangkat dari rumah Tante Pinkan menuju kantor, menunggu Temi dan Rasya lalu pergi ke Setiabudi bersama-sama, setelahnya makan siang di luar demi menghindari Kalky, saat sore barulah kembali ke kantor. Belum cukup sampai di situ, karena aku pun ikut berlembur sampai suntuk, menjelang jam 23:00 WIB Temi mengajakku pulang. Lima hari dalam seminggu ini kuforsir tenaga sampai akhirnya badanku mulai menunjukkan signal-signal kelelahan. Lengkap sudah, jiwa dan ragaku tersiksa bersamaan.

Di Sabtu pagi yang cerah aku menyambut hari dengan olah raga di sisi kolam renang bersama para penghuni apartemen lainnya, tak punya teman dan kenalan karena kehidupan di sini memang individualis sekali. Selesai berolahraga aku bersihkan badan dan mengurus tugas-tugas domestik lainnya, mencuci, menyapu, mengepel, dan membersihkan semua perabot yang mulai berdebu. Tidak ketinggalan, aktivitasku ditemani alunan musik klasik favoritku, Yiruma. Lalu sesekali kuputar the best Quran recitation dari Youtube, agar kepalaku ini selalu tenang dan sejuk. Jadi tidak hanya jasmaniku saja yang bugar, tapi ruhku pun sehat selalu.

Menjelang sore bel berbunyi. Dengan muka lusuh, baju kebesaran, celana di atas lutut, dan kunciran yang mulai berantakan, aku berjalan menuju interkom.

"Hanin!" suara lantang Tiara langsung terdengar.

"Lo?" tanyaku kaget. Sungguh bukan saat yang tepat, aku masih tidak ingin kedatangan tamu.

"Buka dong!" Tiara menunjukkan senyum manisnya, wajahnya terlihat glowing dan ceria.

Aku terpaksa menekan tombol, mengizinkan Tiara masuk ke apartemen Genta yang senyap ini. Begitu kubuka pintu apartemen, Tiara langsung memelukku tanpa merasa risih sama sekali, padahal saat ini aku banyak mengeluarkan cairan keringat. Tampilanku pun sedang jelek-jeleknya, lebih jelek dari saat bangun tidur ditambah tiga hari tidak mandi.

Tiara sudah masuk dan aku menutup pintu. "Lo sudah ke salon ya? Glowing dan potongan rambutnya oke juga," kataku memuji. Lihat Nona satu ini, bikin iri! Dia luar biasa cantik seperti tuan puteri yang baru turun dari tandu.

"Iya dong. Lo sih kelamaan move on nya." Tiara tersenyum semringah. Kalau aku laki-laki, aku sudah pasti jatuh cinta padanya dan tidak akan pernah melepaskan Tiara seumur hidupku. Nick memang tolol! Aku memaki mantan sahabatku dalam hati.

Aku belum sempat cerita tentang masalah Kalky pada Tiara, tapi pasti sepupunya itu sudah menjelaskan semuanya. Dan yang jelas, Harris pasti tahu kalau ternyata laki-laki yang sedang aku usahakan itu adalah Kalky, teman kuliahnya sendiri. Ah... benar, dua sepupu itu pasti saling tukar informasi. Sama halnya denganku dan Genta, sepupuku satu itu masih membaweliku soal teman-teman perempuanku yang masih lajang. Kalau saja Genta bukan buaya darat aku tidak akan sungkan mengenalkan Tiara padanya.

Tiara duduk di sofa ketika aku membawakan susu cokelat dari kulkas dan dua gelas kosong. "Ra, tumben banget sepupu lo nggak ngubungin gue lagi. Enak sih, nggak ada gangguan. Terakhir WA pas semingguan lalu." Pesan terakhir Harris sudah aku hapus tanpa perlu kubuka dan kubaca. Tapi setelah seminggu tanpa kabar aku merasa aneh, jangan-jangan Harris juga kesal padaku karena telah berbohong waktu itu. Ini semua salah paham, aku bertemu Kalky di lobi kantor dan duda itu membuat otakku berubah pikiran secepat topan.

Tiara tersenyum, dia menuangkan susu cokelat dari kotak ke gelasnya sendiri. "Rindu?" tanyanya jahil. "Rindu, kan?" ia mengedipkan mata, sungguh genit!

"Amit-amit!" jawabku sambil memelototi Tiara dan mencubit lengannya pelan. "Enggak, aneh saja. Biasanya sebelum jam makan siang dia sudah nongkrong di lobi. Seminggu ini hidup gue nggak diganggu, Ra. Apa mungkin ruhnya sudah damai...?" tanyaku melantur.

It Was Always You (1)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang