22. Antara

117 23 7
                                    

Hii, long time no c!

Enjoy reading, fwends!
Play lagu sedih ya, hehe
Kencengin vomment-nya♡

Enjoy reading, fwends!Play lagu sedih ya, heheKencengin vomment-nya♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Maaf, sebetulnya aku belum siap jadi orang tua, Sena.”

Setelah ucapan itu terlontar dari ranum sang wanita, atmosfer terasa berbeda. Yang semula haru-biru, kini menjadi sendu. Perempuan itu menundukkan jemala dengan figur surai yang hampir menutupi keseluruhan wajahnya. Lengannya masih tergantung pada pundak suaminya sembari meremas kecil kaus yang dikenakan Sena. Labium meronanya terlipat ke dalam, seakan menahan gejolak yang ingin meluap.

“Kamu masih ingat ‘kan… perkataanku waktu itu?” Ayat tanya itu akhirnya berhasil terlontar. Mendongak perlahan pada sejurus netra kelam sang rupawan. “Aku maunya setelah kita lulus aja, karena aku nggak mau nanti pusing-pusing kuliah malah mual nggak karuan,” jawabnya sama seperti beberapa bulan yang lalu. Menyeritakan perasaan yang sebenarnya ingin ia ungkapkan kepada lawan bicara.

Mendengar hal tersebut, Sena diam-diam menghela napas berat. Dengan posisi yang masih memeluk pinggang ramping sang wanita, perasaan campur aduk itu mulai menguasai hatinya. Di sisi lain, ia lupa tentang hal itu. Di sisi lainnya, Sena bahagia akan kabar terbaru yang didapatnya hari ini.  Tetapi, apa nyatanya?  Justru hal itu berkebalikan dengan Ayudisa yang nampaknya kurang ‘welcome’ dengan kehadiran calon bayinya. Apalagi dengan raut wajah yang sukar diartikan prianya.

Maka, dengan berat hati, sang lelaki pun menelan ludah sebelum membuka bibir untuk bertanya kepada Ayudisa.

Then? What should we do?

Diberi pertanyaan yang terdengar ‘pasrah’ Ayudisa tak langsumg menjawab. Justru menunduk dalam tak berani menatap sepasang bola mata yang terus beratensi padanya.

Sena mengulangi pertanyaan. “Tell me. What should we do, Ayudisa?” Suara rendah nan tegas, membuat bulu kuduk lawan bicaranya menegak. Baru kali ini anak tunggal Pak Gandhi berujar sedemikian tegasnya.

Abortion,” jawabnya lirih.

Sena terkejut, Ayudisa pun justru tak kalah kagetnya, ketika sepatah kata itu meluncur tanpa diminta oleh si perasa.

Tak dapat menampik bahwa keduanya kini saling memandang dengan tatapan membola.

Bertepatan dengan hal itu, perubahan raut Sena berubah drastis. Aura dingin mulai memancar dari seri mukanya walau ia tak berkata apa-apa.

Bayangkan, ketika kamu mendamba sesuatu penuh harap. Namun ternyata, lawan bicaramu justru mengharap kebalikannya, bagaimana rasanya?

Sakit sekali. Perasaan Sena hancur dalam sekejap.

Walau terdengar ringan, tetapi seutas kata mampu membuatnya kehilangan percik bahagia yang kini mulai padam.

Seriously? Aku nggak salah denger, nih?” Ia terkekeh kecil. Lebih tepatnya, tidak menyangka dan secara tiba-tiba. Menolak kebenaran. Perasaannya hancur berkeping-keping saat Ayudisa tak menjawab apa-apa.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang