28. Belum Usai Cerita Kita

109 17 19
                                    


Hi, long time no c, fwends!
Anyway, happy reading, ya!


Sebenci apapun dengan Senapati, pasti terselip rasa khawatir dari dalam diri Ayudisa

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sebenci apapun dengan Senapati, pasti terselip rasa khawatir dari dalam diri Ayudisa. Bohong jika dirinya tak panik mendengar kalimat yang diujarkan baru saja.

Suaminya mengalami kecelakaan.

Usai lawan bicaranya memutus sambungan, Ayudisa masih berusaha mencerna keadaan. Pikirannya terasa kosong, tak ada hal apapun selain kondisi anak tunggal Pak Gandhi. Bagaimana bisa terjadi, bagaimana keadaannya, dan juga bagaimana bisa ia harus memikirkan suaminyaㅡyang sama sekali tidak mengkhawatirkan Ayudisa sendiri?

Beribu pertanyaan dari dalam kepala terus bersahut-sahutan. Prakata demi prakata hanya mampu bersarang tanpa diminta.

Ia jadi berpikir… apakah ucapannya tadi didengar oleh Tuhan? Semata-mata hanya untuk memberikan efek jera pada keduanya?

Entahlah.

Dalam sekat empat dinding, Ayudisa tentu kelabakan. Dirinya bergegas menuju alamat yang disertakan dengan tergesa. Sangat tergesa hingga sang wanita tak menyadari bahwa kini ponselnya terjatuh saat sedang mengantonginya di dalam petak kamar. Ia hanya membawa diri beserta sling bag yang menemani.

“Semoga Sena nggak pa-pa…” gumamnya ketika sudah berada di dalam taksi.

Rapalan doa ia panjatkan kepada Tuhan agar sang tuan selalu berada dalam lindungan-Nya. Boleh jadi ia masih mengkhawatirkan keadaan Senapati, namun tak memungkinkan bahwa perasaanya masih terluka sebab mereka ‘berdua.’

Intinya, ia melakukan perannya sebagai seorang istri terlebih dahulu. Urusan maki-memaki, lebih baik nanti saja. Asal Senapati sehat walafiat, baru lah Ayudisa menginterogasi sang pria.

“Tujuannya di rumah sakit pusat kota, ya, Neng?” tanya sang sopir yang mengendalikan balok besi dengan kecepatan stabil.

“Iya, Pak,” balasnya singkat.

Sewaktu dalam perjalanan, sesekali jemala wanita dua puluh satu itu menengok ke samping, melempar pandangan dengan hujan yang tengah membasahi bentala. Molekul air layaknya cipratan duniawi yang menggambarkan perasaan si bungsu. Entah mengapa ia merasa kelabu, seperti mendung yang tercipta pada awang-awang.

Hujan di sore hari cukup membuatnya mengingat sekilas tentang kenangan.

“Hujan, ya?”

Aku jadi ingat Bayu… lanjut Ayudisa dalam hati.

Tapi ia segera menggeleng cepat untuk menyingkirkan sekilas peristiwa itu dan menyadari bahwa dirinya telah tiba pada tujuan, Rumah Sakit pusat kota.

Usai membayar ongkos dengan beberapa lembar duniawi, Ayudisa berlari cepat memasuki rumah sakit. Langkah jenjang membawanya hingga tepat di depan resepsionis. Ia lantas bertanya perihal Senapati kepada pegawai yang menunggu di sana.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang