24. Uraian Tak Menentu

97 21 10
                                    


Happy Sunday and enjoy reading!
Don't forget to vomments, fwends!♡

Happy Sunday and enjoy reading!Don't forget to vomments, fwends!♡

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Sejak kejadian di mana mereka berperang dingin, nampaknya hari ini masih ada sekat di antara mereka. Sejoli itu masih enggan untuk berwicara satu sama lain.

Sebenarnya bukan hanya mereka saja, namun Gita dan Jenan pun terkena getahnya. Apalagi yang terjadi di kampus hari ini. Kebetulan gadis berambut sebahu itu mengejar Sena yang tak jauh dari jangkauannya di sekitar kantin. Langkahnya terpacu cepat untuk menggapai kemeja sepupunya yang tinggal ia tarik dari arah belakang hendak mengatakan sesuatu.

"Sen!" panggilnya saat berhasil berada tepat di balik punggung sang pria. "T-tunggu." Nada suaranya terengah sebab sesaknya lautan manusia yang hendak mengisi raungan demonstrasi garbanya.

"Lo ikut gue sekarang!" Ia bersuara lagi, memerintah tegas lelaki keras kepala di hadapannya.

Pelan-pelan ia memutar derajat hulu untuk berhadapan dengan kekasih Jarka. Seri muka datar itu menatap tanpa ekspresi pada gadis tersebut seraya membalas perkataan Gita. "I'm busy right now, let's talk later."

Mendengar balasan angkuh Sena, rahangnya mengatup erat dengan gigi yang bergemeletuk menahan marah. "Don't you dare to ignore me! Just follow me, jerk!" umpat Gita seraya menarik pergelangan hasta Sena untuk menjauh dari ramainya insan manusia di sana.

"W-whatㅡjerk?" Netranya terbeliak saat dirinya dinilai sebegitu brengseknya oleh Gita sendiri. Ia sedikit tak percaya bahwa sepupunya mengatakan hal itu kepadanya.

Menghempas tautan mereka, Gita menatap nyalang pada Sena yang kini menatapnya kebingungan. "YOU, STUPID!" komentarnya pedas. "Lo pasti tahu kenapa Ayudisa hari ini ga masuk 'kan?"

"Dia sakitㅡ"

"SHE'S!" ia memotong perkataan. Gadis itu semakin mendekat dan mengayunkan tangannya pada pipi Sena dalam sekali tarikan napas.

PLAK!

"DIA SAKIT HATI KARENA LO, SENA! LO NYADAR GA SIH, BRENGSEK?!" Taruni berusia dua dekade itu meradang nan membara bagai bara api yang enggan dipadamkan. Napasnya naik turun usai menampar dan memaki anak tunggal Pak Gandhi. Emosinya tak stabil, ingin sekali merobek bibir yang selalu berkomentar tajam tanpa memikirkan akibatnya.

"Lo kira gue ga tau apa yang lo omongin sama istri lo di rumah? I KNOW THAT! LO NYAKITIN DIA, SENA! LO JAHAT!"

"Bisa-bisanya lo sebagai suami justru menyalahkan istri lo sendiri? Lo gila apa? Gue gak nyangka sama lo!" raungnya kembali. Menumpahkan kebenciannya yang berada di ujung tanduk.

Bagaimana bisa sepupunya berbuat sedemikian kurang ajarnya?

Berada di sudut lorong yang jarang dilalui oleh banyak orang, panas yang merambat di sekitar pipi Sena tak sebanding dengan perkataan Anggita. Putri sulung Pak Gheno dari pihak ayahnya itu benar-benar kalut. Emosinya tak tertahan, sumbu merah sudah lepas dari jemalanya. Mungkin jika ia tidak meringis sakit usai tamparan itu berhasil mengenai pipi kirinya, pasti ia akan dihajar mampus oleh mahasiswi semester akhir itu.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang