14. Rumah

174 35 24
                                    

Hii! I'm back!
Enjoy reading!

Hii! I'm back!Enjoy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Kamu kok bisa ke sini?”

Terkekeh dan menolehkan kepalanya hingga netra Arum memandang Handika. “Bisa dooong.” Kemudian ia melempar senyum sembari mengayun-ayunkan kedua tangan mereka yang saling tertaut.

Kisah asmaraloka sedang terjadi di antara mereka berdua. Sepasang manusia yang digandrungi rasa merah muda, tengah berjalan menyusuri sekitaran Pantai Kenjeran. Hangatnya sore hari, serat awan yang menaungi, serta deburan ombak yang menggelitik pada rungu mereka. Tidak lupa dengan jari-jemari SenjaDika yang semakin mengerat tak mau terlepas. Dua insan tersebut sedang menikmati waktu bersama setelah penantian berharga.

“Hayo, jawab gak? Aku lempar ke laut nih biar dihap sama hiu!” ancam Handika sambil mendorong kecil tubuh Arum yang berdiri di dekat bebatuan pantai. Membuat sang gadis berteriak kecil dan mencengkeram erat lengan kekar kekasihnya itu.

“Jangan diceburiiin! Aku takut kedalaman tau!” Arum mengomel dengan posisi setengah memeluk tubuh Handika. Namun pemuda Surabaya itu malah tertawa-tawa sembari mendorong-dorong Arum lagi.

“Jawab duluu baru kulepasin!”

“Ih iya-iya. Tapi lepas dulu, Dika!”

Masih sama, Arum tetap berpegangan erat pada lengan pemuda Surabaya. Netranya takut-takut menatap deburan ombak yang seakan ingin melahap tubuh mungilnya di pinggir pantai.

Melihat pemudi berponi pendek itu memohon, hatinya tak sampai tega bila menceburkan tubuh Arum ke dasar laut. Nanti jika Handika merindukan nona Senja, bagaimana dong?

Maka dari itu, lengan kanannya merengkuh pinggang sang gadis agar mendekat ke pinggir bebatuan dan menepuk-nepuk lembut puncak surai milik Diajeng Arum Sandhyakala.

“Jadi gimana?”

Alisnya terangkat. “Apa?”

Nah kan, rasanya Handika ingin mencubit gemas pipi Arum karena jahilnya taruni ini membuatnya gregetan. “Rum... mumpung kita masih di sini. Gimana kalau kamu beneran kuceburin aja?” cetusnya dengan sebuah ancaman.

“Bercanda!” ujarnya saat melihat perubahan yang signifikan di raut adam berkelahiran nol dua itu. Takut jika nanti dirinya betulan ditenggelamkan seperti kata Bu Susi. ‘Tenggelamkan!’

Kan tidak lucu jika Arum baru saja pulang dari Negeri Pohon Bambu tapi sudah koit saja.

“Aku bisa ke sini yaaaaa... aku inisiatif sendiri sih,” ujarnya.

Namun Handika tau, seberapa besar gengsi teman sekelasnya ini jika berhadapan dengan sebuah kejujuran. Bisa dibilang, Arum ini malu-malu meong seperti Ayudisa. Tak bisa jujur, tapi sebetulnya lubuk hati mereka ingin menyampaikan seluruh rasa suka kepada pasangannya.

Senyumnya merekah bagai bunga yang bermekaran. “Inisiatif sendiri apa kangen sama oknum Handika?”

Tak membutuhkan waktu lama, pipi gembung itu lekas bersemu kemerahan yang berpadu dengan sinar mentari menghangatkan kalbu mereka. “Dua-duanya...” Ia berujar lirih sambil membuang muka dari pandangan Cakrabuana.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang