19. Kilas Balik

139 27 20
                                    

Don't forget to vomments
and be a wise reader, please.
Thank you in advance.

“Sena, kamu beneran nggak mau bareng Ayah aja pulangnya?”

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Sena, kamu beneran nggak mau bareng Ayah aja pulangnya?”

Menggeleng dan meringankan perkataan sebelum menjawab, “Nggak pa-pa, Yah. Sena nanti nyusul aja.”

“Beneran?” tanyanya memastikan. Bola mata beliau melebar untuk mencari celah pada manik putra tunggalnya. “Kalau capek langsung pulang aja ya, Nak. Jangan dipaksa, nanti kamu bisa sakit.”

Kepalanya terangguk berkali-kali sambil menyungging senyum. “Iya, Yah. Lagian tinggal dikit lagi selesai kok. Ayah duluan aja nggak pa-pa.”

Kemudian beliau pun mendekat untuk menepuk bahu sang pemuda, sebelum figurnya hirap dari pandangan Sena.

Gejolak napas yang ia tahan sedari tadi di dalam dada, pada akhirnya dilepaskan. Menghela berat hingga bahunya sedikit merosot ke bawah. Netranya acapkali terpejam untuk mengurangi rasa panas sebab terlalu lama menatap layar komputer. Badannya pegal-pegal, sehingga punggungnya kini bersandar pada kursi beroda usai meregangkan tubuh.

Ternyata, dunia kerja tak semudah yang ia bayangkan.

Pantas saja ketika Ayahnya baru pulang ke rumah, wajah beliau terlihat begitu lelah. Seakan membawa banyak beban berat di pundak agamnya. Hal itu membuat Sena merasa iba kepadanya.

Dan sekarang, ia pun telah merasakannya juga.

Ah tidak, sebetulnya sudah dari kelas akhir dirinya mulai mengikuti jejak pria tua yang ia anggap sebagai kepala keluarga. Mengikuti dan membantu kecil-kecilan tugas beliau di kantor yang cukup jauh dari rumahnya berada. Tentu saja dengan arahan sang ayah untuk tetap membimbing putra semata wayangnya.

Dalam diam, ia menatap ruang karyawan yang masih nampak satu hingga dua gelintir orang tengah mengerjakan tugasnya. Ia kenal dengan orang-orang itu. Mereka ikut menemani Sena karena pekerjaannya juga belum selesai. Pun ada alasan mengapa Sena lebih memilih untuk tidak naik pangkat saat Ayahnya berpinta.

Karena ia belum yakin jika dirinya bisa meng-handle pekerjaan tersebut.

Ia tahu hal itu tidak mudah baginya. Tentu Sena harus bekerja lebih keras hingga bisa mencapai titik tersebut. Sang lelaki ingin meniti karirnya dari tangga yang paling bawah dulu sebelum puncak kesuksesan ia raih dengan begitu mudahnya.

Bersusah-susah dulu, bersenang-senang kemudian adalah motto seorang Nawangga Senapati Gandhi.

***

“Bunda, ini tinggal dikasih hiasan aja, ya?”

Mendengar menantunya bersuara, beliau yang sedang mencuci tangan di wastafel pun mengangguk sambil menoleh sekilas. “Iya. Shortcake-nya bisa dikasih hiasan strawberry juga. Pas sama namanya ‘kan, strawberry shortcake.”

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang