30. Badai Buana

117 12 22
                                    

Enjoy reading!

"Hey, who says, you're not worth it, Ayudisa?"

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

"Hey, who says, you're not worth it, Ayudisa?"

Itu... suara familiar yang ia dengar hari ini.

Ayudisa seketika terdiam dan mengangkat ponselnya di genggaman untuk melihat, siapa yang berbicara dengannya. Mata sembabnya membola saat menyadari dengan siapa panggilan itu tersambung.

"J-Jen..."

"Lo nangis lagi, Disa?" Seseorang di sana menembak pertanyaan kembali.

Ayudisa lantas menyeka jejak-jejak air mata yang mengering. Kemudian terduduk dan menyandarkan tubuhnya pada headboard ranjang sambil menjawab, "Aku gak telpon kamu, Jen. Maaf, kayanya kepencet." Ia mengalihkan pembicaraan agar tak berujung rumit nantinya.

Di seberang sana, Jenan menghela napas berat, "Gue tanya gak dijawab," balasnya dari seberang sana. "Lo kenapa sama Sena?"

Lawan bicaranya menggeleng sambil menatap ke arah luar jendela yang telah menggelap. Menelan saliva serat dan meredam tangisannya dengan menggigit bibir kencang.

"Eng-nggak..." kilah Ayudisa.

"Bohong. Gue kenal lo gak sekali dua kali. Bahkan kita teman dari kecil, sahabat dari orok, bahkan soulmate dari zaman zigot. Lo salah kalau berhadapan sama gue tentang masalah bohong gini. Am I right?" cerocos beruntun dilontarkan pada manusia putus asa. Jenan gemas sendiri, mengapa Ayudisa selalu berkata baik-baik saja ketika hatinya hancur oleh realita dunia?

Mendengar hal itu, bukannya menjawab pertanyaan si sulung Bahari, Ayudisa justru tak kuasa meredam tangisnya lebih lama lagi, cuz Jenan really know her life also her problems.

Pemuda Bahari itu setia mendekatkan gawai baloknya pada rungu sembari menatap ke arah yang sama seperti kawannya, yakni jendela luar balkon yang telah menggelap padam. Ditatapnya ponsel pintar di menit ke-30, ia menyugar rambutnya berlawanan arah.

Ya, sudah selama itu ponselnya terhubung dengan mantan pujaan hatinya. Selama itu ia mendengar keluh kesah putus asa wanita yang pernah dicintainya. Sebegitu dalamnya rasa sayang Ayudisa pada Senapati Gandhi, sepupunya.

Ia akui, kejadian yang menimpa mereka, begitu rumit, dengan Sena yang mengalami amnesia sementara, membuat Ayudisa hancur berkeping-keping layaknya kaca pecah yang hampir mustahil bisa disatukan kembali. Mendengar warta dari ibunda kesayangannya tadi, seketika hatinya mencelos. Bukti bahwa jagad terkadang suka bercanda.

"Sena nggak ingat aku. Lagi-lagi aku membuat orang sial dengan kehadiranku."

Jenan mendecak dan mengusak surainya gemas. "Kata siapa, dah? Lo tuh hadir karena ada banyak orang yang nunggu kedatangan perempuan sebaik lo."

Menggeleng lagi sambil meremat gawai miliknya. "Tapi sekarang mereka paham, Jen. Orang yang nunggu aku akhirnya menyesal karena nggak sesuai sama ekspektasi mereka," sanggahnya, sungguh candala. Ibarat suhu, ia berada di titik terendahnya. Merasa dingin dan kesepian, seperti tak ada yang berani 'tuk membagi kehangatan dengan dirinya seorang.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang