01. Awal dari Perjalanan

1.2K 117 37
                                    

Buku Bahtera bisa dibaca terpisah.
Namun lebih baik setelah membaca
Sebait Klausa ya! Agar feel-nya dapat.

Apa yang terlintas di pikiran kalian, tentang ikatan benang merah bernama pernikahan?

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Apa yang terlintas di pikiran kalian, tentang ikatan benang merah bernama pernikahan?

Bahagia?

Rumit?

Atau bahkan mendatangkan sebuah masalah?

Ayudisa tidak tau apa yang terjadi pada umurnya yang mencapai dua dekade ini. Oma dengan tekad yang kuat untuk menyatukan ikatan keduanya pun langsung menyelenggarakan pernikahan Sena dengan dirinya. Gadis belia dengan warsa nol dua itu hanya mampu diam tak berkutik walau sekali. Tiada mampu melakukan apa yang pantas dan bisa membahagiakan dirinya sendiri.

Naasnya, sang puan hanya bisa mengangguk patah-patah laiknya sebuah robot, kala pihak lelaki dan perempuan mengoordinasi semuanya. Ia hanya bisa patuh pada semua yang diperintahkan oleh sang pengendali hidupnya. Meminta tolong kepada kembarannya, Pratama pun bahkan ditolak mentah-mentah oleh para tetua.

"Tama, jangan seenaknya kamu bermain-main dengan wasiat, ya!" tegur Oma dengan suara menajam. Sepotong jari telunjuknya mengarah kepada cucunya yang satu itu.

Tuan muda tersebut lajaknya tersenyum skeptis sembari membuang mukanya sejenak. "Apa-apa wasiat, apa-apa perjanjian. Kenapa manusia selalu memaksakan kehendak manusia yang lainnya? Apa Ayudisa nggak berhak bahagia?"

"Kamu masih kecil, jangan ikut campur! Ini demi kebaikan Sena dan Ayudisa, Tama!" Oma terus membantah.

Sejenak, pemuda yang terduduk di hadapan Oma hanya tertawa pahit. "Tama sudah besar Oma. Umur pun sudah dua dekade. Apa Tama masih nggak boleh ikut campur? Ini tentang saudara Tama, Oma," jawabnya masih dengan intonasi rendah. "Dan lagi, kebaikan apa kalau wasiat ini hanya memaksakan salah satu pihak? Apa semua ini demi keinginan para tetua? Apa benar begitu, Oma?" lanjutnya dengan suara dingin yang mampu membuat lawan bicara sang tuan melipat lidah.

"Semuanya terkesan tidak adil, jika hanya mementingkan kebahagiaan semata dengan mengorbankan sebuah perasaan."

Tak apa bilamana Oma menganggap Tama durhaka kepada orang tua saat berkata sedemikian rupa. Namun faktanya tidak semua anak durhaka, pun sebaliknya juga bisa berlaku demikian.

Ia bahkan masih heran dengan apa yang dilakukan tetua-tetua ini. Tidak bisakah jika dirundingkan dulu dengan mendengar sudut pandang yang berbeda dari mereka berdua? Tidak bisakah jika mendengarkan apa penjelasan dari cucu bungsunya dahulu?

Tama tak habis pikir dengan semuanya. Ia sangat menyayangi adik kecilnya itu, namun alur kehidupan mereka hanya ada di tangan Tuhan dan juga tetua.

Sungguh gadis yang malang...

Dan kini, dalam pernak-pernik lampu kemuning, rupa-rupa hiasan pendekor ruangan, serta semerbak arum wangi dari sekar mekar tengah menyeruak lamat-lamat pada penciumannya.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang