❝ Terima kasih telah hadir
untuk menyempurnakan
separuh hidup dan juga
nyawaku ❞
✧ ft. 박성훈 ENHYPEN ⊹ ☽
and millenials
⚠️17+
Highest Rank⤵️
1# bait, klausa
3# psh
9# jooyeon
10#...
Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
“Iya, makan kamu maksudnya.”
Selepas ucapan Sena terlampir, di detik selanjutnya kedua tangan Ayudisa mendorong bahu sang suami dengan sekuat tenaga dan bangkit dari posisinya. Ia berlari menghindar dan tertawa saat berhasil lolos dari kungkungan tersebut.
“Nggak duluuuu, aku ada tamu~” Ia berseru. Tawa Ayudisa pecah hingga netranya tinggal segaris, usai memberi jarak jauh di antara mereka berdua.
Mengusak surainya hingga sedikit berantakan. “Tamunya disuruh balik aja bisa, nggak?” tanyanya sambil mendesah frustasi.
Terbahak. “Nggak bisa atuh!”
“Bilangin, ‘Nggak menerima tamu’ gitu!” Namun hanya dibalas gelengan jemala yang teriringi kekehan geli dari ranum meronanya.
Raut wajah Sena langsung sepet aja tuh. Senyum tipis dengan ekspresi datar tanpa cekungan hangat di kedua reluk bibirnya, tercetak jelas. Senyum paksa itu lekas menghiasi wajah Senapati Gandhi dengan segera.
Mengetahui perbedaan raut wajahnya tadi, itu benar-benar berbeda nampaknya. Sena menghela napas pasrah dan berusaha menerima keadaan.
Ia pun terduduk lemas di atas sofa sambil mengambil remot untuk mengalihkan perhatiannya. Daksa miliknya kini bersandar loyo pada bantalan empuk, kedua kaki jenjangnya melebar sehingga menghabiskan ruang antara sofa dengan meja kayu, dan jemari yang setia memencet tombol next pada remote televisi sebab tidak ada yang menarik lagi.
Walau lagaknya seolah baik-baik saja, tetapi pemuda yang mengenakan baju rumahan itu langsung tidak bersemangat. Mengalihkan saluran televisi dari satu ke lainnya, menontonnya tanpa ekspresi, dan tidak ada satupun yang berhasil menarik atensi.
Haduh, dasar laki-laki memang seperti itu ya. Seolah harapannya pupus begitu saja.
Karena bosan mengganti-mengganti saluran kotak digital, ia menoleh ke arah sang lawan bicara yang berkutat dengan bahan masakan yang akan diracik menjadi satu. “Kapan selesai?” tanyanya gamblang.
Ketukan antara sebilah pisau dan talenan pun berpadu di ruang dapur yang terlihat dari ruang keluarga. Suara itu menjadi iringan konversasi sepasang suami istri pada sore hari. Tubuh mungil itu berjalan ke sana kemari untuk menyiapkan bahan dan bumbu-bumbu yang dirasa ia kurang.
Taruni Batavia menjawab tanpa melihat Sena. “Hmm, kapan ya? Tujuh sampai delapan harian lagi mungkin. Baru tadi soalnya,” ujarnya terdengar samar-samar karena teredam oleh suara bising televisi yang menyala.