20. Patah Genderang

154 26 23
                                    

Enjoy reading!

Enjoy reading!

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

“Pernah. Sebelum pada akhirnya kamu meninggalkan aku ke Kediri ‘kan?”

Kini keduanya bersitatap dengan raut yang tak terbaca. Maniknya terus terjerat masing-masing dan tenggelam ke dalam palung rasa milik mereka. Sena memandangnya sendu, begitupula dengan sang lawan bicara yang ikut merasakan luka robek memanjang di sekitar hatinya.

Masih dengan posisi berdiri menghadap Sena yang terduduk di tepi ranjang, perempuan dua puluh satu tahun itu membuang napas singkat dan melepas tautan hasta yang melingkar di sekitar pinggulnya secara sepihak. Sena pun dengan berat hati menurunkan lengannya walau ia masih ingin memeluk istrinya lebih lama lagi.

“Ayudisa--”

“Aku ke bawah dulu. Mau minum jus,” potongnya cepat tanpa melihat siapa yang berbicara. Ia menutup pintu sambil membelakangi figur Sena yang masih terdiam mengolah pikirannya yang abstrak.

Di luar ruangan, Ayudisa bisa merasakan luka yang hampir kering itu terbuka lagi. Kepalan tangannya memukul keras di sekitar dada untuk meredakan sesak yang merebak panas. Ia mendongakkan jemala untuk menghambat aliran pedih agar tak menghiasi pipi merahnya hingga basah. Dengan langkah gontai sedikit menyeret kaki, ia mati-matian menahan pernapasannya agar bisa terembus dengan normal.

Namun usahanya berakhir sia-sia, kala sekelebat bayangan tentang pemuda Kediri melayang tanpa diminta. Maniknya yang selalu memandangnya hangat, senyumnya yang menawan, atau bagaimana dengan perlakuan manisnya yang membuat Ayudisa tersipu malu sekaligus merasa, bahwa ia adalah satu-satunya wanita beruntung yang bisa bertemu dengannya.

Bayu Renjana, nama itu terus terngiang-ngiang di kepalanya.

Selama tiga tahun ia berusaha mengubur dalam-dalam tentang lelaki itu dengan susah payah, tapi tak ada satupun yang berhasil ia lakukan. Buktinya, sumber luka terhebat justru membuat Ayudisa mengingat hal itu lagi hari ini.

Dalam diam, ia menggigit bibirnya untuk meredakan isak yang tercipta. Langkahnya tiba di lantai dasar, namun tujuannya tak lagi menuju dapur untuk mengambil sekotak jus untuk ia tenggak. Justru memutar haluannya menuju taman belakang yang asri dipandang mata. Ia terus merajut betisnya pada salah satu gazebo bercat coklat dan duduk di sana sendirian. Menumpahkan perasaan usang yang kini terbakar oleh percikan api bertemankan lampu kuning yojana.

“Bayu... aku merindukan kamu...” lirihnya dengan napas yang tersendat. Matanya memerah, hidungnya kembang kempis, dan terdengar suara patah bak talu genderang.

Kedua kakinya tertekuk dengan tangan yang bertumpu di atasnya. Meletakkan kepala dan tenggelam di antara lipatan lengannya dengan tersedu-sedu. Dadanya sesak, mengingat hari-hari terakhir mereka bersama di kota kelahiran milik pemuda Kediri.

Dalam keadaan rapuh seperti ini, ia menginginkan usapan lembut dari Bayu Renjana. Ia ingin merasakan tangan kasar hasil dari kerja kerasnya itu mengusap lembut surai halusnya. Mengucap sepatah dua kata untuk menenangkan hati seorang wanita plin-plan seperti dirinya.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang