08. Porak Poranda

236 49 22
                                    

“Thanks,”  ucapnya saat tiba di pekarangan rumah

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Thanks,”  ucapnya saat tiba di pekarangan rumah.

Mengguratkan lengkung sabit melawan gravitasi. “Anytime.”

Ada jeda hening di antara mereka berdua dengan si nona yang nampak mengolah suatu kalimat. “Maaf, gue nggak bisa nawarin lo buat mampir. Soalnya Papa, Mama, sama Kak Jefan lagi kerja,” ia berujar demikian. Ada sarat kekhawatiran mendalam mengenai kalabendu.

Shan mengangguk paham. Ia tahu betul mengapa Wulan berkata seperti itu. Ia mengantisipasi dari segala sesuatu yang ‘mungkin’ akan terjadi. Dan Shan tentu menghormati hal itu. Lagipula membuka luka lama pun membuat keduanya merasakan sakit yang teramat dalam.

“Iya, gue paham kok,” balasnya pendek seraya mengulas senyum. “Tapi kalau lo butuh bantuan, gue selalu siap sedia. Karena handphone gue aktif terus kalau buat lo seorang.” Memamerkan lengkung garis manisnya, Wulan pun hampir tersipu malu.

Masih di dalam wimana balok catur jentera, kini pemilik surai ikal panjang menghela napas pelan. Pikirannya acakadut saat mengingat obrolannya bersama Shan waktu itu. Namun karena keegoisan Papanya, mereka tidak bisa bersatu karena suatu hal.

Meneguk salivanya serat sebelum melirik eksistensi pemuda yang masih diam. Ia menyebut asma indah milik raga manusia. “Shan. Maafin papa gue waktu itu, ya? Waktu lo ke rumah gue buat mengudari benang yang tergulung rumit di antara kita, tapi beliau justru maki-maki lo dan nggak kasih restu buat kita berdua.” Suaranya bergetar menggenggam rasa patah yang belum purna.

“Maaf kalau lo langsung diusir dan ditolak mentah-mentah sama beliau.” Ia masih berbicara, kepalanya menunduk dalam. “Ini semua salah gue.”

Menggeleng tak setuju dengan persepsi kalimat yang diujarkan nonanya. “No. Ini bukan salah lo atau salah gue. Tapi ini salah kita berdua, Wulan.”

“Kita yang harus menanggung konsekuensi dari apa yang telah kita perbuat. Maaf kalau waktu itu gue emang brengsek banget ke elo. Maksa lo buat nurutin apa yang gue minta saat itu juga,” lanjut Shan merasa bersalah.

Ia merasa sangat bersalah ketika berbicara mengenai waktu di mana mereka berada dalam kabut nafsu yang membara. Bisikan setan yang berhasil membuahkan suatu individu pun membuat mereka mencengkeram rasa pilu. Pengaruh alkohol jua beserta merta mencampuri urusan mereka sebab pengaruh teman-teman.

Wulan terisak kecil. Akhir-akhir ini primadona tersebut sering merasakan pilu membiru. Perihal ujaran kawannya, tatapan sinis mereka, serta makian tidak beralasan tanpa tau sebabnya pun menggelitik di rungunya. Emosi rendahnya pun naik turun.

“Maaf...” Jemari lentiknya mencengkeram erat celana yang dikenakan sebagai pelipur lara menahan isakan.

Tak tega melihat karut marutnya wanita yang ia cinta dan sayangi, genggaman di antara bulatan kemudi pun dilepaskan. Berlabuh pada tujuan tuk merangkul hangat daksa rapuh yang butuh untuk direngkuh. Lantas pemuda Gumilar mengusap pelan pundak yang bergetar sampai memudar.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang