17. Wisuda

127 28 6
                                    

Double update!
Happy reading!

Tak terasa waktu berlalu, kini yang ditunggu-tunggu pada akhirnya tiba

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Tak terasa waktu berlalu, kini yang ditunggu-tunggu pada akhirnya tiba. Sebuah gelar dan toga wisuda yang dikenakannya dengan bangga, telah melekat pada dirinya. Membawa sarat kebahagiaan dengan sebuah buket snack yang dikemas menyerupai bunga.

Setelah penantian berharga dan juga peluh keringat atas usahanya sendiri, Adipati Pratama berhasil menempuh jalan rumit tersebut. Tiada lupa dengan puji syukur atas doa-doa dan juga karsanya, Tama bisa berfoto di depan gedung rektorat bersama keluarganya. Dengan perasaan bangga atas jerih payahnya selama ini, sang tuan pun juga tak henti-hentinya mengulas senyum yang terpatri.

Dalam lautan manusia yang tengah berbahagia bisa menamatkan pendidikannya, terdengarlah suara lantang dari kejauhan. Teman seperkuliahan, sahabat sejati, dan juga sobat ambyar itu pun berlari tergopoh menghampiri pemuda April itu.

“WOY TAM! AKHIRNYA LULUS JUGA LO!”

Ia, Adimas Harsaji. Lelaki muda yang sering dinobatkan sebagai Si Ngutang Duit itu pada akhirnya lulus juga. Tentunya dengan hasil jerih payahnya sendiri, ia berhasil melewati tikungan dan juga rintangan yang sulit, hingga bisa menyandang gelarnya saat ini.

“Lo juga lulus, Sa. Congrats!” balas Tama ketika Harsaji melalukan bro hug dengannya. Dia menepuk bangga kepada sahabatnya yang satu ini. Walau terkadang tingkah Harsa begitu menyebalkan, setidaknya usahanya perlu diacungi jempol lima.

Namun tak sampai di situ saja, kini ada seorang gadis yang datang tiba-tiba membuat Tama dan Harsa terkejut akan eksistensinya. “HAI BESTIE, AKHIRNYA KITA LULUS JUGA YAA!”

Nah untuk gadis yang satu ini, sudah bisa kalian tebak, bukan?

Yap, Sharayu Rinjani. Si teteh geulis asli Bandung, namun kelakuannya sungguh gadung.

Dia datang dari arah belakang dan langsung mengambil tempat di antara Harsa dan juga Tama. Walau sedikit menjinjitkan kaki, ia tetap menenggerkan kedua lengan kurusnya ke atas pundak mereka. Kepalanya menoleh ke kanan juga ke kiri untuk melihat bagaimana senyum keduanya terus mengembang bagai diberi fermipan.

“Kita foto bertiga aja gak, sih? Kita mana ada momen beginian?”

Mendengus malas. “Jani, yang harusnya lo tanya tuh Harsa. Si gembel ini susah banget diajak foto sekalipun itu sama temen. Sok ngartis dia,” sindir sang wira.

Yang dipanggil asmanya pun hanya melirik sekilas dan tersenyum asimetris. “Asal lo tau, ya. Gue jarang ngeiyain ajakan foto bareng terutama cewe, karena gue ini menghargai perasaan pacar gue. Ibu negara bisa ngamuk nanti. Kurang gentleman apa lagi gue?” jawabnya pede yang membuat keduanya menampilkan ekspresi mual.

“Pede sih emang perlu... TAPI DITAKAR DULU, ANYING! LO MAH KEPEDEAN!” Jani mencibir sambil menoyor kepala Harsa. Si empu tentu saja memprotes kesal karena Jani berteriak tepat di telinganya tidak tanggung-tanggung.

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang