33. Sebuah Momen Singkat

165 17 7
                                    

Disarankan untuk play sad song, ya!

Banyak orang berkata, sebuah perasaan itu memiliki masa kadaluarsa bak air yang menguap, ataupun memiliki tenggat waktu sesuai pribadi masing-masing

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Banyak orang berkata, sebuah perasaan itu memiliki masa kadaluarsa bak air yang menguap, ataupun memiliki tenggat waktu sesuai pribadi masing-masing. Tapi bagi Sena, itu tidak memberi efek apapun pada dirinya. Perasaan tersebut tak pernah absen di paru, akalnya, hingga membuat Sena berdelusi akan suara Ayudisa yang memanggil asmanya hari ini.

Tolong, bangunkan ia dari mimpi jika ini betulan terjadi.

Atau bahkan... dirinya sudah tak sadarkan diri dan tenggelam pada laut lepas dunia fana yang menanti kisah-kasih belum sempat antara ia dengan sang wanita?

Ingatkan ia untuk berkonsultasi dengan dokternya untuk menambah resep obat delusional yang kini mulai menggerogoti tubuh sang adam.

"Sena?"

Suara itu cukup membuat tubuh Sena sedikit merespon. Otaknya mencerna, ia ingin berbalik, namun takut jika itu semua hanyalah khayalannya semata. Kaki jenjang sang tuan masih teguh berdiri tanpa bergerak sedikitpun, sedangkan degupan jantungnya kian mengetuk-ngetuk dada sebagai respon paling nyata ketika asmanya disebut kembali.

"Nawangga Senapati Gandhi."

Benar. Ini bukan tipuan belaka, ini juga bukan bunga tidurnya.

Ternyata sang tuan tak segila yang dipikirkannya.

Berulang kali ia berpikir, 'berbalik atau tidak' tapi intuisi lelaki itu selalu berseru untuk 'berbalik arah.'

Maka dengan banyak pertimbangan, betisnya ia putar derajat hulu hingga ujung sepatu tersebut bisa berhadapan dengan sepasang anatomi kaki lain.

Perlahan, kepalanya terangkat, mencoba untuk bersitatap dengan wanitanya yang ayu, wanita yang pernah dipersuntingnya, maupun bidadari surganya. Sepasang iris gelap tersebut lekas beratensi dengan amber milik si puan. Menyampaikan sarat rindu dan permintaan maaf sedalam samudra. Rasanya ingin sekali lengan Sena merengkuh hangat pinggang (mantan) istrinya, menumpukan jemala sang tuan pada pundak sempit yang dirindukannya sambil menghirup dalam-dalam semerbak raksi sampo milik Ayudisa.

Ia rindu, ia sangat rindu. Matanya nampak berkaca-kaca ketika hanya ada diam di antara mereka. Atmosfer mereka seolah ruang hampa, seolah tak ada angin hingga membuat Sena sesak dengan sendirinya.

Layaknya sebuah lagu, ia tak bisa bernapas dengan normal sebab separuh nafasnya ada pada Ayudisa Putri.

"Senaㅡ"

"Boleh kalau aku memeluk kamu?" ucapannya dipotong sepihak oleh yang lebih muda. Suara sang tuan terdengar serak sebab tenggorokan seolah mencekiknya dengan kerinduan.

Ayudisa terdiam, tak menjawab. Bisa jadi masih benci, atau bahkan tak ingin Sena sakit sendiri.

"Ayudisa? Boleh kalau aku memeluk kamuㅡ" ulangnya lagi. Suara Sena tercekat di tenggorokan. Setetes air mata pun bermuara pada tulang pipi yang semakin kurus dan kuyu.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 05 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Bahtera | SunghoonTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang